WahanaNews.co | Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati pembahasan Tingkat I Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).
Salah satu yang diatur yaitu pengampunan pajak atau Tax Amnesty.
Baca Juga:
Tax Amnesty Bakal Kembali Digelar Pada 2023
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie, sekaligus Pimpinan Panja RUU HPP, mengungkapkan, pembahasan RUU HPP sudah selesai tahap I dan RUU tersebut sudah diparaf berbagai pihak yang terkait.
"Sudah selesai tahap I. RUU sudah diparaf oleh pimpinan komisi, kapoksi, dan wakil pemerintah," jelas Dolfie kepada wartawan, Kamis (30/9/2021).
Staf Ahli Pengawasan Pajak Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, mengungkapkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Pajak akan disahkan minggu depan.
Baca Juga:
Dari Bayar Pajak Pakai NIK hingga 7 Orang Super Tajir Ikut Tax Amnesty Jilid II
"Belum hari ini. Minggu depan mudah-mudahan (disahkan RUU HPP)," ujarnya.
Lalu, bagaimana skema Tax Amnesty dalam RUU HPP?
Dolfie mengungkapkan, perihal pengampunan pajak di dalam RUU HPP bukan dinamakan Tax Amnesty.
"Tapi program pengungkapan sukarela wajib pajak," ujarnya.
Dari draft RUU HPP yang diterima media, terdapat dua skema program pengungkapan sukarela wajib pajak.
Dijelaskan, wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak (DJP) belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.
"Harta bersih yang dimaksud merupakan nilai harta dikurangi nilai utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak," jelas beleid draft RUU HPP tersebut.
Skema pertama, harta yang dimkasud merupakan harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.
Skema kedua yakni pengungkapan harta bersih sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022.
Skema Tax Amnesty 1 Januari 1985 - 31 Desember 2015
Sebagaimana dikutip Pasal 5 draft RUU HPP, harta yang diperoleh WP sejak 1 Januari 1985 - 31 Desember 2015, dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Yang ditetapkan sebagai berikut, seperti dikutip Pasal 7:
a. 6% (enam persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada:
1. kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
2. surat berharga negara;
b. 8% (delapan persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diinvestasikan pada:
1. kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
2. surat berharga negara;
c. 6% (enam persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
1. dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2. diinvestasikan pada:
a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
b) surat berharga negara;
d. 8% (delapan persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
1. dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2. tidak diinvestasikan pada:
a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
b) surat berharga negara;
e. 11% (sebelas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dasar pengenaan pajak yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan.
Adapun nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih juga dihitung dengan lima ketentuan.
Pertama, nilai nominal untuk harta berupa kas atau setara kas.
Kedua, nilai yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah dan/atau bangunan. Serta nilai jual kendaraan bermotor untuk kendaraan bermotor.
Ketiga, nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk, untuk emas dan perak.
Keempat, nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia, untuk saham dan waran (warrant) yang diperjualbelikan di PT Bursa Efek Indonesia.
Kelima, nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia, untuk surat berharga negara dan efek bersifat utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan, sesuai kondisi dan keadaan harta pada akhir Tahun Pajak terakhir.
Jika tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman dengan 5 ketentuan di atas, maka nilai harta ditentukan berdasarkan nilai dari hasil penilaian kantor jasa penilai publik.
Skema Tax Amnesty 1 Januari - 30 Juni 2022
Skema pengampunan pajak kedua yakni mengungkapkan harta bersih melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta yang disampaikan kepada DJP sejak 1 Januari 2022 sampai 30 Juni 2022.
Surat pemberitahuan pengungkapan harta tersebut harus dilampiri dengan:
a. bukti pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final
b. daftar rincian harta beserta informasi kepemilikan harta yang dilaporkan
c. daftar utang
d. pernyataan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
e. pernyataan akan menginvestasikan harta bersih pada:
- kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
- surat berharga negara, dalam hal Wajib Pajak bermaksud menginvestasikan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7) huruf a dan huruf c.
Setelah WP melampirkan kewajiban-kewajibannya di atas, maka DJP kemudian akan menerbitkan surat keterangan terhadap penyampaian surat pemberitahuan pengungkapan harta oleh WP.
Namun, jika berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat ketidaksesuaian antara harta bersih yang diungkapkan dengan keadaan yang sebenarnya, DJP dapat membetulkan atau membatalkan surat keterangan.
Adapun, Wajib Pajak yang telah memperoleh surat keterangan oleh DJP tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Pemerintah juga diketahui tidak memperbolehkan surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampiran oleh WP tersebut sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP.
"Data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak," seperti dikutip Pasal 6 BAB V tentang Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak RUU HPP.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan harta bersih diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. [dhn]