WahanaNews.co | Harga sejumlah komoditas energi, mulai dari minyak, gas, hingga batu bara diprediksi bakal terus melambung, bahkan kian mencetak rekor baru.
Lonjakan harga komoditas ini tak terlepas dari perang Rusia-Ukraina yang terus memanas dan belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Harga minyak misalnya, pada perdagangan Senin, (7/3/2022) pagi, minyak mentah jenis Brent meroket hingga nyaris menembus US$ 140 per barel, tepatnya US$ 139,13 per barel, melesat lebih dari 17%, melansir data Refinitiv.
Level tersebut merupakan yang tertinggi dalam 13 tahun terakhir sejak 15 Juli 2008. Brent juga sudah tidak jauh dari rekor tertingginya di US$ 147,5 per barel yang dicapai pada 11 Juli 2008 lalu.
Minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) juga melesat ke US$ 130,5 per barel yang juga berada di level tertinggi sejak Juli 2008.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Harga minyak ini bahkan telah mencapai lebih dari dua kali lipat asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) dalam APBN 2022 yang ditetapkan sebesar US$ 63 per barel.
Lantas, apa artinya ini bagi tarif listrik di Tanah Air? Apakah tarif listrik, khususnya pelanggan non subsidi juga akan mengalami kenaikan gegara lonjakan harga komoditas energi ini? Seperti diketahui, harga LPG maupun beberapa produk Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi di masyarakat juga telah naik belum lama ini.
EVP Batu Bara PT PLN (Persero) Sapto Aji Nugroho mengatakan, perubahan tarif listrik merupakan wewenang pemerintah pusat. Sementara PLN sebagai operator kelistrikan di Tanah Air bertugas untuk menyediakan pasokan listrik yang aman bagi masyarakat.
"Bagi PLN, untuk isu kenaikan tarif listrik itu domain pemerintah, sebagai operator PLN menyediakan listrik bagi masyarakat. Apakah ada dampak terhadap kenaikan tarif itu jadi domain pemerintah, dan kami sebagai operator bertugas untuk menyiapkan tenaga listrik," paparnya dalam program Energy Corner Squawk Box CNBC Indonesia, Senin (07/03/2022).
Namun demikian, dia mengatakan, lonjakan harga minyak memang akan berdampak pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN. Pasalnya, tidak ada peraturan khusus terkait harga minyak untuk pembangkit listrik karena sudah dilepas ke harga pasar, tidak seperti dengan harga gas dan batu bara untuk pembangkit listrik yang masih dibatasi oleh pemerintah.
Dia menyebut, biaya listrik untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berbasis BBM memang terdampak atas lonjakan harga minyak ini, namun menurutnya tidak terlalu signifikan. Dia beralasan, pemakaian BBM pada bauran energi pembangkit listrik perseroan kini hanya tinggal sekitar 3,6%.
"Energy mix untuk penggunaan BBM sangat kecil hanya 3,6% dari total energy mix yang dikelola PLN, dampaknya nggak signifikan memengaruhi biaya dari produksi listrik PLN," ujarnya.
Sementara untuk harga batu bara dan gas untuk pembangkit listrik dalam negeri menurutnya masih diregulasi, yakni maksimal US$ 70 per ton untuk batu bara dan US$ 6 per MMBTU untuk gas. Dengan demikian, lonjakan harga batu bara dan gas di pasar internasional, menurutnya tidak berdampak pada kenaikan biaya pembangkitan listrik berbasis batu bara dan gas PLN.
"Karena dominan di batu bara, gas dan BBM hanya 3,6% dan berdampak nggak signifikan untuk biaya operasional PLN karena porsi energy mix untuk BBM kecil dan harga batu bara ada cap US$ 70 (per ton) dan harga gas diatur pemerintah. Ada kenaikan dampak dari BBM, tapi nggak signifikan," paparnya.
"Dampak ke kenaikan BPP bahwa kita untuk batu bara tidak terpengaruh dari eksternal, begitu juga gas. Yang terpengaruh dari BBM, tapi energy mix BBM kita kecil, jadi masih manageable ke energi primer, ke BPP kami," tuturnya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bauran batu bara pada pembangkit listrik nasional hingga November 2021 mencapai 65,93%, gas 17,48%, BBM 3,86%, air 6,78%, panas bumi 5,54%, biomassa 0.22%, dan energi baru terbarukan (EBT) lainnya 0,19%.
Sementara untuk tarif listrik pelanggan non subsidi atau tariff adjustment untuk tegangan rendah saat ini masih dipatok Rp 1.444,70 per kWh. Ini tarif terbaru per Oktober 2020 di mana pemerintah menurunkan Rp 22,5 per kWh, setelah sejak 2017 tidak mengalami perubahan kenaikan/ penurunan.
Adapun rata-rata biaya pembangkitan listrik PLN pada 2020 mencapai Rp 3.097,30 per kWh.
Pemerintah sejak tahun lalu sempat mengungkapkan kemungkinan akan kembali menerapkan penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan non subsidi (tariff adjustment) pada 2022 ini. Paling cepat, penyesuaian tarif listrik pelanggan non subsidi ini disebutkan akan dilakukan pada kuartal III 2022 atau bisa dimulai pada Juli 2022.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menjelaskan, penyesuaian tarif listrik pelanggan non subsidi tidak pernah terjadi sejak 2017. Seharusnya, tarif listrik non subsidi ini berfluktuasi dan ditinjau setiap tiga bulan sekali disesuaikan dengan setidaknya tiga faktor, yakni inflasi, ICP, dan perubahan kurs.
Oleh karena itu, automatic tariff adjustment (Atta) atau penyesuaian tarif listrik di tahun ini akan ditinjau dalam kurun waktu maksimal enam bulan, sesuai dengan kesepakatan dengan Badan Anggaran DPR RI. Penyesuaian tarif pun, kata Rida, akan bersifat situasional tergantung faktor lainnya.
"Kalau perekonomian dan pandemi mereda dan pulih, dan dalam kesempatan membangun energi, ini akan lebih baik, ini bersifat situasional," ungkapnya dalam konferensi pers Selasa (18/1/2022).
Dia menegaskan, untuk kuartal I 2022 ini pemerintah masih belum melakukan penyesuaian tarif listrik non subsidi. Begitu juga dengan kuartal II, dengan melihat makin merebaknya kasus Covid-19 terutama adanya varian Omicron, maka menurutnya kemungkinan pemerintah juga tidak akan melakukan penyesuaian tarif listrik non subsidi hingga Juni 2022 mendatang.
Menurutnya, kenaikan tarif listrik non subsidi juga akan mempertimbangkan kondisi ekonomi makro, sehingga inflasi atau daya beli masyarakat tetap terjaga.
Saat ini PLN memiliki 38 golongan pelanggan. Sebanyak 25 golongan mendapatkan subsidi dan 13 golongan atau 41 juta pelanggan tidak mendapatkan subsidi.
Sebanyak 13 golongan pelanggan non subsidi inilah yang selama ini tarif listriknya tidak diubah pemerintah, sehingga pemerintah harus memberikan kompensasi kepada PT PLN (Persero) saat terjadi perubahan kurs, ICP, dan inflasi.
Oleh karenanya, dengan skema tariff adjustment ini, kenaikan tarif listrik diperkirakan mulai naik dari Rp 18 ribu hingga Rp 101 ribu per bulan sesuai dengan golongan. [qnt]