WAHANANEWS.CO, Jakarta - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi Badan Gizi Nasional (BGN) siap menjadi motor penggerak ekonomi baru di berbagai daerah, termasuk Jawa Barat.
Tak tanggung-tanggung, anggaran yang digelontorkan untuk provinsi ini diperkirakan bisa mencapai Rp 50 triliun, angka yang jauh melampaui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat sendiri.
Baca Juga:
Wamenkeu Suahasil: Program Makan Bergizi Gratis Capai 3,9 Juta Penerima Manfaat
Kepala BGN, Dadan Hindayana, menjelaskan bahwa Jawa Barat mendapat perhatian khusus karena memiliki jumlah penduduk terbesar secara nasional.
Dengan target pembangunan lebih dari 4.500 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), program MBG diharapkan menjadi tulang punggung upaya perbaikan gizi sekaligus penggerak perekonomian daerah.
“Kalau Badan Gizi sudah berjalan 100 persen, dana yang mengalir ke Jawa Barat itu sekitar Rp 50 triliun. Padahal APBD-nya saja hanya Rp 31 triliun. Jadi, dana dari BGN bisa lebih besar dari APBD provinsi,” ujar Dadan dalam acara BGN Talks Episode 1, yang ditayangkan di kanal YouTube BGN, Minggu (1/6/2025).
Baca Juga:
Kadin Gaet Pengusaha China untuk Investasi Program Makan Bergizi Gratis
Setiap unit SPPG akan menerima anggaran tahunan antara Rp 8 miliar hingga Rp 10 miliar.
Dana tersebut diprioritaskan untuk pembelian bahan baku dari produsen lokal, menciptakan efek domino ekonomi di sekitar lokasi pelayanan.
Lebih lanjut, Dadan menyebut, satu SPPG akan menyerap minimal 50 tenaga kerja serta membutuhkan 15 pemasok baru. Artinya, jika program berjalan merata, akan muncul ribuan lapangan kerja dan peluang usaha di berbagai sektor.
“Contohnya di NTT, APBD provinsinya hanya sekitar Rp 3 triliun. Tapi Badan Gizi akan menyalurkan Rp 8 triliun ke sana. Jadi dua kali lipat lebih besar dari APBD-nya. Begitu juga di Lampung, akan masuk Rp 10 triliun. Gubernurnya sudah tegas, jangan sampai uang itu dipakai untuk belanja bahan dari luar provinsi,” tambahnya.
Dengan skala anggaran yang masif, program MBG tak hanya menjawab isu kekurangan gizi, tetapi juga digadang-gadang menjadi instrumen strategis untuk menumbuhkan ekonomi lokal secara signifikan.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]