WAHANANEWS.CO, Jakarta - Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan membuka data terkait dengan jumlah pabrik tekstil yang kolaps mencapai 60 pabrik dengan jumlah PHK sekitar 250 ribu orang. Ini terjadi dalam kurun waktu 2022 hingga 2024.
Pria yang akrab disapa Noel tersebut mengungkapkan data tersebut dia dapatkan dari Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (APSyFI), Redma Gita Wirawasta. Penyebab kolapsnya 60 pabrik tekstil tersebut karena impor ilegal (penyelundupan) yang memperparah kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Baca Juga:
Dukung Industri Berkelanjutan, Balai Kemenperin di Ambon Miliki Lab Uji Terakeditasi
"Menurut APSyFI, dalam dua tahun terakhir 60 pabrik terancam oleh impor illegal, sehingga terjadi 250 ribu Pemutusan Hubungan Tenaga Kerja (PHK). Saya bertanya, apakah data APSyFI benar? Kalau benar, maka instansi terkait hendaknya mengambil langkah konkret," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (2/1/2025).
Noel mengutip keluhan APSyFI: impor illegal bukan hanya melemahkan TPT, tetapi juga industri petrokimia bahan baku utama tekstil, yaitu Purified Terephtalic Acid (PTA). Menurut (APSyFI), kondisi ini memicu memasuki de-industrialisasi.
Dia mengingatkan dampak PHK tidak sesederhana yang tampak di permukaan. Satu buruh kena PHK, dampak langsung bisa menimpa 4 orang (ditambah istri dan 2 anak), kemudian dampak terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). UMKM sebagai penyedia jasa mulai dari pedagang di pasar, warung, penjual bensin eceran hingga rumah kontrakan, akan kena dampak.
Baca Juga:
Kemenperin Buka Peluang Kerja Sama Lebih Lanjut dengan Provinsi Kampung Halaman Wuling
"Para ekonom lebih tahulah soal dampak PHK. Kemnaker selalu berharap ekonomi yang lebih baik, jauh-jauhlah PHK," katanya.
Noel berharap, Desk Pencegahan dan Pemberantasan Penyelundupan, yang dibentuk Menko Polkam Budi Gunawan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, hendaknya berhasil mencegah penyelundupan supaya PHK industri TPT bisa dikurangi.
"Bukan hanya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang menjadi pemangku kepentingan (stake holder) tenaga kerja nasional, tetapi semua instansi pemerintah. Sayangnya, sering kali Kemnaker hanya sebagai hilir, tukang cuci piring," tandasnya.