WAHANANEWS.CO, Jakarta - Seorang remaja asal Amerika Serikat, Aleysha Ortiz (19), menggugat Hartford Public High School setelah lulus dengan pujian tetapi tetap tidak bisa membaca atau menulis. Kasus ini mengungkap ketimpangan serius dalam sistem pendidikan negeri di Amerika Serikat.
Ortiz menyelesaikan pendidikannya di Hartford, Connecticut, pada Juni 2024 dan bahkan menerima beasiswa kuliah. Namun, berbeda dengan teman-temannya yang optimis menyongsong masa depan, ia justru dilanda ketakutan karena masih buta huruf setelah 12 tahun bersekolah.
Baca Juga:
Tingkatkan Kualiatas Pendidikan, PTAR Kucurkan Rp1,45 Miliar untuk Pembangunan Infrastruktur Sekolah
Dua hari sebelum kelulusan, pejabat distrik sekolah memintanya menunda kelulusannya untuk mendapatkan bimbingan tambahan, tetapi ia menolak.
"Sekolah sudah memiliki waktu 12 tahun untuk mengajari saya. Sudah cukup," ujarnya dalam wawancara dengan CNN pada 27 Februari 2025.
Ortiz kemudian mengajukan gugatan terhadap Dewan Pendidikan Hartford dan pemerintah kota atas kelalaian, serta menggugat guru pembimbingnya, Tilda Santiago, atas dugaan pelecehan mental.
Baca Juga:
NU Haramkan Hukuman Kekerasan di Lembaga Pendidikan
Kasus ini memicu perdebatan luas mengenai kualitas pendidikan di sekolah negeri AS. Jesse Turner, Direktur Pusat Literasi di Central Connecticut State University, menegaskan bahwa kualitas pendidikan di Amerika sangat bergantung pada lokasi dan demografi.
Laporan EdBuild tahun 2019 menemukan bahwa sekolah-sekolah di daerah dengan mayoritas siswa kulit berwarna menerima pendanaan US$ 23 miliar lebih sedikit dibandingkan sekolah di daerah mayoritas kulit putih.
Hartford Public High School sendiri memiliki sekitar 90% siswa minoritas dalam dua tahun ajaran terakhir.
"Amerika harus bertanya, apakah kita benar-benar merawat semua anak dengan baik?" kata Turner.
Menurut ibunya, Carmen Cruz, Ortiz telah menunjukkan tanda-tanda disleksia sejak kecil. Keluarganya pindah dari Puerto Rico ke Connecticut demi pendidikan yang lebih baik, tetapi kondisinya tidak membaik.
Sejak kelas satu, ia mengalami kesulitan mengenali huruf dan angka. Saat kelas enam, hasil tes akademiknya menunjukkan bahwa tingkat membaca Ortiz setara dengan anak taman kanak-kanak. Meski demikian, sekolah tetap memindahkannya ke jenjang berikutnya tanpa intervensi yang memadai.
Di sekolah menengah, guru pembimbingnya, Tilda Santiago, diduga sering melecehkannya secara verbal, meremehkannya di depan siswa lain, dan menertawakannya karena disleksia. Setelah melaporkan kejadian tersebut, Santiago akhirnya dipecat.
Memasuki tahun terakhirnya, beberapa guru menyarankan Ortiz untuk menjalani tes disleksia. Hasilnya menunjukkan bahwa ia membutuhkan pengajaran fonetik dasar yang seharusnya sudah diajarkan sejak taman kanak-kanak. Ia juga didiagnosis dengan ADHD, gangguan kecemasan, gangguan komunikasi, serta gangguan pembangkangan oposisi (ODD).
Meski buta huruf, Ortiz berhasil masuk Universitas Connecticut dengan bantuan teknologi. Ia mengandalkan aplikasi teks-ke-ucapan dan ucapan-ke-teks untuk mengerjakan tugas kuliah dan menulis esai.
"Aplikasi ini memberi saya suara yang tidak pernah saya duga akan saya miliki," ungkapnya.
Untuk menyelesaikan tugas sekolah, ia harus merekam ceramah di kelas, mengubahnya menjadi teks di laptop, mencari arti kata-kata baru, lalu mengonversinya kembali ke audio agar bisa memahami materi. Dengan metode ini, nilai-nilainya meningkat dari C dan D menjadi A dan B.
Namun, perjuangannya tidak mudah. Ortiz harus menghabiskan empat hingga lima jam setiap malam untuk mengerjakan tugas, sering kali hanya tidur empat jam sebelum kembali ke sekolah.
Kasus gugatan ini muncul di tengah rencana Presiden AS Donald Trump untuk menutup Departemen Pendidikan dan mengalihkan pendanaan langsung ke pemerintah negara bagian.
Turner menentang kebijakan ini, mempertanyakan bagaimana siswa berkebutuhan khusus akan mendapatkan perlindungan tanpa regulasi federal.
Ortiz menegaskan bahwa gugatan ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang akuntabilitas sistem pendidikan.
"Saya ingin mereka bertanggung jawab atas apa yang telah saya alami. Saya berhak belajar seperti anak-anak lainnya," katanya tegas.
Kasus ini menjadi peringatan bagi sistem pendidikan AS bahwa masih banyak siswa yang terabaikan, dan reformasi pendidikan menjadi semakin mendesak.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]