WahanaNews.co | Nama Hui Ka Yan, atau dikenal juga dengan nama Xu Jianyin, tengah menjadi buah bibir di media massa akhir-akhir ini.
Perusahaan yang dirintisnya, Evergrande, sedang menjadi sorotan karena terlilit utang hingga US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.290 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per dolar AS).
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Ka Yan lahir dari keluarga pedesaan, tepatnya di Desa Jutaigang, Henan, China.
Ia bukan berasal dari keluarga pebisnis maupun pedagang.
Ayahnya merupakan pensiunan tentara yang berpartisipasi dalam Perang China-Jepang II pada 1930-an hingga 1940-an.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Sementara, ibunya meninggal saat Ka Yan masih berusia 8 bulan.
Ka Yan tumbuh dewasa dibesarkan oleh nenek dari pihak ayahnya.
Setelah lulus SMA, dia sempat bekerja di pabrik semen.
Dia bahkan sempat berhasil menjadi pemimpin tim produksi.
Ka Yan lantas mencoba peruntungan di bangku kuliah dan berhasil masuk ke Wuhan Institute of Iron and Steel pada 1978.
Setelah lulus, Ka Yan masuk ke sebuah perusahaan besi dan baja dan sempat menjadi direktur.
Namun, dia tak berpuas diri dan pindah ke Shenzhen pada 1992.
Saat itu, Shenzhen sedang dikembangkan menjadi zona ekonomi khusus.
Ka Yan berhasil tembus ke perusahaan perdagangan besar bernama Zhongda dan puncaknya didapuk menjadi kepala cabang di Guangdong.
Karirnya tak berhenti di situ, dia pindah lagi ke Guangzhou dan mendirikan perusahaan Guanzhou Pengda Industrial.
Dikutip dari Forbes, selang tiga tahun, dia memutuskan untuk mendirikan Evergrande Group dan menjabat sebagai Chairman pada 1996.
Evergrande debut di bursa saham Hong Kong pada 2009 dan langsung melesat 34 persen.
Saat itu, Evergrande memiliki 800 proyek di lebih dari 280 kota.
Tak hanya properti, perlahan grup Evergrande melebarkan sayap investasinya dari mulai klub sepakbola hingga mobil listrik.
Bahkan, klub sepakbola Evergrande merupakan salah satu klub sepak bola tersukses di China.
Semua investasi tersebut berhasil membawa Evergrande menjadi pengembang real-estate terbesar di China.
Semua usahanya berhasil membawa Ka Yan masuk ke jajaran orang terkaya versi Forbes.
Puncaknya, Ka Yan pernah mengumpulkan kekayaan sebesar US$$ 42,5 miliar dan menjadi orang terkaya di Asia.
Sayangnya, 73 persen dari kekayaan tersebut telah menguap dan hampir pasti akan kehilangan lebih banyak lagi karena para kreditur, pemasok, dan pembeli rumah yang cemas mengepung kantor Evergrande.
Kekayaan Ka Yan tercatat sebanyak US$ 11,8 miliar atau setara dengan Rp 168,82 triliun per 30 September 2021.
Sedangkan perusahaan Ka Yan, Evergrande, terlilit utang hingga US$ 300 miliar atau Rp 4.290 triliun.
Raksasa real estate asal China ini mengisyaratkan tak mampu membayar utang tersebut dan terancam bangkrut.
Mengutip AFP, Selasa (15/9/2021), Evergrande mulanya berutang untuk mendanai pertumbuhan properti beberapa tahun lalu.
Namun, manajemen mengakui sedang menghadapi persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hanya saja, manajemen membantah bahwa perusahaan sudah bangkrut.
Sebab, mereka sedang meyakinkan investor sekaligus berupaya menurunkan tumpukan utang yang besar.
Sementara, dua lembaga pemeringkat kredit menurunkan status Evergrande lantaran keuangan perusahaan sedang sulit.
Harga saham Evergrande jatuh di bawah harga saat pencatatan saham pada 2009 lalu.
Selain itu, terdapat sejumlah protes dari pembeli rumah di seluruh negeri yang mengkhawatirkan keamanan investasi mereka.
"Peluang gagal bayar utang yang tidak teratur untuk Evergrande mungkin tidak terlalu tinggi karena kekacauan sosial yang dapat terjadi dari konsumen dan kehilangan nyawa," kata Kepala Utang di perusahaan manajemen investasi, Barings.
Sementara, Analis IG Prancis, Alexandre Baradez, mengatakan, pasar tak terkejut seperti yang terjadi pada Lehman Brothers.
Diketahui, Lehman Brothers adalah raksasa perbankan yang jatuh bangkrut pada 2008 dan memicu krisis keuangan global.
"Lehman mengejutkan, bank dengan peringkat bagus yang menghilang dalam semalam," kata Baradez.
Terbaru, Evergrande kembali gagal membayar kupon obligasi senilai US$ 47,5 juta atau sekitar Rp 679,2 miliar yang jatuh tempo pada Rabu (29/9/2021).
Pembayaran bunga itu untuk obligasi berdenominasi dolar AS yang jatuh tempo Maret 2024 ini memiliki tingkat kupon 9,5 persen.
Berdasarkan keterangan dua pemegang obligasi yang dikutip Reuters, Kamis (30/9/2021), Evergrande untuk kedua kalinya gagal membayar kupon obligasi offshore dalam sepekan.
Salah satu sumber mengaku belum menerima kupon maupun dihubungi oleh manajemen Evergrande.
Dengan total utang yang setara 2 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) China, risiko gagal bayar utang perusahaan menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap pasar keuangan.
Kini pasar tengah menanti pemerintah China maupun bank sentral China untuk “turun tangan” dan membuat pasar keuangan kembali kondusif lagi usai kejadian Evergrande.
Sementara sang taipan dengan terampil menghindari masalah lain, termasuk membujuk investor strategis untuk mengabaikan pembayaran utang US$ 13 miliar tahun lalu. [dhn]