WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, menyerukan penghentian segera kekerasan yang disebutnya sebagai tragedi “memalukan” di Myanmar.
Ia menegaskan, penderitaan rakyat Myanmar yang berkepanjangan sejak kudeta militer tahun 2021 harus segera diakhiri, dan penguasa militer perlu membuka jalan bagi kembalinya pemerintahan sipil yang sah.
Baca Juga:
Pertemuan Bilateral Presiden Prabowo dan Sekjen PBB Bahas Sinergi Atasi Tantangan Global
Dalam konferensi pers di sela-sela KTT ASEAN di Kuala Lumpur, Selasa (28/10/2025), seperti dilansir The Straits News, Guterres menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi kemanusiaan yang terus memburuk di negara tersebut.
Menurutnya, kudeta yang dilakukan militer telah menimbulkan “bencana demi bencana”, tidak hanya bagi rakyat Myanmar sendiri, tetapi juga bagi stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara.
Ia menegaskan perlunya penghentian kekerasan secara segera, diikuti komitmen nyata untuk membangun dialog yang inklusif antara semua pihak.
Baca Juga:
Prabowo Bertemu Sekjen PBB, Tegaskan Komitmen Indonesia untuk Perdamaian Dunia
Guterres juga mendorong adanya langkah konkret menuju pemerintahan sipil yang sah dan akuntabel.
Sejak penggulingan pemerintahan terpilih pimpinan Aung San Suu Kyi, Myanmar terus terjerumus dalam kekacauan, dengan pertempuran antara militer dan kelompok pemberontak yang meluas di berbagai daerah.
Aung San Suu Kyi hingga kini masih ditahan, sementara sejumlah kelompok etnis bersenjata telah berhasil menguasai sebagian wilayah Myanmar.
Kondisi tersebut memicu perang saudara yang semakin memperparah krisis kemanusiaan, menimbulkan ribuan korban jiwa, serta memaksa jutaan warga mengungsi ke perbatasan negara tetangga.
Pemerintah militer sebelumnya berjanji akan menyelenggarakan pemilihan umum pada akhir tahun 2025 sebagai langkah menuju demokrasi.
Namun janji itu diragukan banyak pihak, termasuk komunitas internasional, yang menilai pemilu tersebut tidak lebih dari upaya junta untuk memperpanjang kekuasaan melalui jaringan politik yang loyal kepada mereka.
Sejumlah partai oposisi dibubarkan dengan alasan administratif, dan kelompok pemberontak serta pemerintahan bayangan menolak berpartisipasi dalam proses politik yang dianggap tidak sah.
Pemimpin junta, Min Aung Hlaing, bahkan mengakui bahwa pemilu sulit digelar di seluruh wilayah Myanmar karena situasi keamanan yang semakin tidak terkendali.
Dalam kesempatan itu, Guterres kembali menekankan pentingnya membangun masa depan Myanmar berdasarkan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan partisipasi politik yang bebas.
Ia menyampaikan keraguannya terhadap rencana pemilu junta, dengan mengatakan bahwa masyarakat internasional tidak percaya pemilihan tersebut akan berlangsung bebas dan adil.
“Sudah saatnya membuka jalur kemanusiaan, mengakhiri kekerasan, dan menemukan solusi politik yang menyeluruh,” kata Guterres. “Rakyat Myanmar mengandalkan dukungan kolektif kita.”
Guterres juga menyerukan kepada negara-negara anggota ASEAN dan komunitas internasional untuk memperkuat tekanan diplomatik terhadap junta militer.
Menurutnya, tanggung jawab moral dunia adalah memastikan bahwa rakyat Myanmar tidak terus menjadi korban dari konflik tanpa akhir yang menghancurkan masa depan generasi mereka.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]