WahanaNews.co | Indonesia diyakini mampu memberi peran lebih besar
atas kasus intoleransi
yang kerap muncul di sejumlah negara. Paling anyar
kejadian di Prancis. Meski banyak pihak yang mengecam intoleransi yang terjadi
di negara tersebut, Indonesia juga mesti menjadi penengah yang baik di antara
kecaman keras itu.
Sebagai negara berpenduduk muslim
terbesar di dunia, Indonesia tentu menjadi etalase bagi negara luar dalam
melihat dan menilai pemahaman soal Islam. Makanya Indonesia harus menjadi
komunikator yang baik dan mesti mampu menjelaskan pemahaman soal kerukunan
beragama yang hidup dan tumbuh di Tanah Air sesuai dengan sila pertama
Pancasila. Pemerintah Indonesia harus bisa meyakinkan masyarakat dunia bahwa
Islam yang tumbuh di Indonesia, bahkan dunia, adalah benar-benar Islam yang
dipahami sebagai sebuah agama yang rahmatan lilalamin.
Baca Juga:
Wamenhan Tegaskan Indonesia Bebas Pilih Alutsista, J-10C Jadi Kandidat Kuat
"Indonesia tidak cukup hanya mengecam
(peristiwa di Prancis). Indonesia mesti bisa berperan besar menjadi komunikator
yang baik dengan negara-negara lain di dunia sehingga pandangan salah atau
stigma Islam sebagai agama radikal bisa hilang dengan sendirinya," ujar
Ketua Fraksi Golkar MPR,Haji Idris
Laena, kepada wartawan, Minggu (1/11/2020).
Idris mengaku tidak tahu persis lembaga
apa yang seharusnya mengambil peran ini. Namun pemerintah memiliki Kementerian
Agama. Juga ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi-organisasi Islam
yang merupakan partisipasi aktif masyarakat dalam mensyiarkan Islam rahmatan
lil alamin. Bahkan DPR sebagai sebuah lembaga perwakilan rakyat punya grup
kerja sama bilateral atau MPR yang gencar melakukan sosialisasi nilai-nilai
Empat Pilar Kebangsaan.
Khusus menyikapi peristiwa intoleransi
yang terjadi di Prancis, ada tiga poin utama yang menurut Laena mesti diurai
benang merahnya. Pertama, kebebasan berekspresi yang kebablasan dengan
melecehkan keyakinan agama lain. Kedua, tindakan kekerasan yang sama sekali
tidak pernah dibenarkan oleh agama mana pun. Ketiga, menghina agama lain dan
mengaitkan dengan terorisme.
Baca Juga:
AS Panik, Inggris dan Prancis Diperingatkan agar Tak Akui Negara Palestina
"Sebetulnya tragedi demi tragedi
yang muncul akibat masalah seperti di atas sudah sering terjadi. Namun kali ini
mendapat perhatian luas karena seorang presiden dari negara maju bernama
Immanuel Macron menyikapinya dengan emosional yang justru cenderung menghina
agama lain," katanya.
Hal yang tentu perlu disikapi serius,
kata Idris, jika seorang presiden dari sebuah negara maju masih punya pandangan
yang keliru tentang Islam, bisa dipastikan ada sesuatu yang salah dalam diri
pemimpin tersebut. Dalam skala lebih luas, lembaga OKI (Organisasi Kerja sama
Islam) yang didirikan di Rabat, Maroko, pada 25 September 1969 tidak mampu
membangun komunikasi internasional yang selama ini menjadi domain dan menjadi tempat
berhimpun negara-negara Islam.
"Beranggotakan 57 negara serta memiliki
perwakilan resmi di PBB, OKI tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Yang
jelas saatnya masyarakat dunia diberi pemahaman dan diubah persepsinya bahwa
mengaitkan agama dengan radikalisme maupun terorisme adalah kesalahan yang
besar," ujar anggota Komisi VI DPR itu.
Dalam kesempatan tersebut, Laena juga
sempat menceritakan sejarah ketika Sultan Muhamad al-Fatih (Mehmet II) berhasil
merebut Konstantinopel pada 29 Mei 1453. Waktu itu penduduk yang beragama
Kristen berlari ketakutan dan berkumpul di Haga Sovia. Mereka membayangkan akan
dibinasakan oleh Sultan yang merupakan turunan ketujuh Kesultanan Ottoman yang
berusaha merebut Konstantinopel itu.
"Namun apa yang terjadi, di depan
masyarakat, Sultan berjanji melindungi mereka. Saat itu Romawi Timur dan Romawi
Barat juga dalam keadaan bermusuhan serta tetap menjamin kebebasan mereka untuk
memeluk agamanya," papar dia.
Seperti diberitakan, peristiwa
intoleransi di Prancis membuat masyarakat dunia terhentak dan terbelah.
Terakhir pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron bahwa dirinya tidak akan
mencegah penerbitan kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW dengan dalih
kebebasan berekspresi memicu kemarahan masyarakat di dunia muslim, tak
terkecuali Indonesia.
Macron juga dianggap telah menghina
Islam atas pernyataannya yang menyebutkan bahwa Islam mengalami krisis di
seluruh dunia. Dia bahkan menuding komunitas muslim di negaranya sebagai
separatis. Demo mengecam pernyataan Marcon terjadi di mana-mana. Bahkan dalam
pernyataan resminya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengecam keras pernyataan
Macron serta mengecam keras pembunuhan yang terjadi di Paris maupun di Nice,
Prancis.
Sementara itu, Ketua
Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi (BPIP) Antonius Benny Susetyo
menegaskan bahwa kekerasan dan tindak terorisme tidak ada kaitannya dengan
agama. Dia pun mengecam pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang
mengasosiasikan Islam dengan terorisme.
"Kebebasan berekspresi ,
berpendapat, adalah hak asasi yang mendasar. Namun kebebasan tidak bisa
disalahgunakan dan dimanipulasi untuk membenarkan penghinaan nilai agama yang
suci," tegas Benny kemarin.
Rohaniwan ini juga menegaskan bahwa
tidak ada satu agama pun di dunia yang mengajari umatnya untuk melakukan
kekerasan.
"Tindak kekerasan itu hanya
dilakukan oleh orang yang tidak mengenal Tuhan. Setiap orang yang mencintai
Tuhan tidak akan melakukan tindakan seperti itu," ujarnya.
Pria yang akrab dengan sapaan Romo Benny
itu menambahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun sudah menegaskan bahwa
kesakralan dan kesucian dalam agama harus dihormati.
"Ke depan dibutuhkan konsensus
bersama untuk menyepakati pentingnya penghormatan atas hal yang suci dan sakral
dalam semua agama di dunia ini," sebut Benny. [dhn]