WahanaNews.co | Tingkat inflasi Turki secara tahunan berada di level paling tinggi dalam 20 tahun atau sejak April 2002. Institut Statistik Turki memaparkan, inflasi meroket nyaris 48,7 persen pada Januari 2022, jadi 11,1 persen dibanding Desember 2021.
Mengutip Nikkei Asia, Jumat (4/2/2022), Menteri Keuangan Turki Nureddin Nebati mengatakan, inflasi akan memuncak pada April tahun ini.
Baca Juga:
Sekda Sulbar Ajak Pemerintah Daerah Perkuat Sinergi Kendalikan Inflasi di Wilayah
Sementara itu, nilai tukar Lira merosot 44 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Lantaran Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menolak untuk menaikkan suku bunga.
Erdogan berargumen bahwa menaikkan suku bunga sebenarnya memperburuk inflasi daripada mengendalikannya.
Dengan tingginya inflasi dan nilai uang yang anjlok, daya beli masyarakat Turki pun semakin terpuruk.
Baca Juga:
BPS Sulawesi Barat Catat Inflasi Bulan ke Bulan 0,33 Persen Akibat Kenaikan Harga
Beberapa hari sebelum data inflasi dirilis, Erdogan mengganti kepala badan statistik Turki. Sejak 2019, Erdogan juga sudah mengganti tiga gubernur bank sentral.
Ia tidak senang dengan kebijakan badan statistik yang merilis data inflasi tertinggi sejak partai yang menyokong Erdogan berkuasa 2 dekade lalu.
Erdogan telah menuai kritik karena seringnya merombak tim ekonomi. Pihak oposisi mengatakan pemerintah mencampur data inflasi dengan data resmi lainnya karena alasan politik.
Daily Sabah melaporkan, Bank Sentral Republik Turki (CBRT) pekan lalu menaikkan ramalan inflasi tahunan akhir tahun untuk tahun ini, dan tahun berikutnya.
CBRT juga mengatakan, tinjauan terhadap kebijakannya saat ini bertujuan untuk menyokong Lira.
Bank tersebut meramalkan inflasi sebesar 8,2 persen pada 2023, dan kembali ke angka target resmi yaitu 5 persen pada 2024.
Data yang dirilis CBRT menunjukkan, inflasi diperkirakan akan mendekati 50 persen pada Januari, sebelum mencapai puncak pada Mei, dan turun drastis pada kuartal ketiga tahun ini.
CBRT menaikkan perkiraan inflasi di sektor makanan pada akhir tahun menjadi 24,2 persen, dari sebelumnya sebesar 13,9 persen, sebelum turun menjadi 10 persen pada 2023. [qnt]