WAHANANEWS.CO, Jakarta - Militer Israel kembali melancarkan serangan udara di wilayah Gaza tengah dan selatan pada Senin (17/3/2025), dengan dalih menargetkan pejuang Palestina yang diduga menanam bahan peledak di sekitar posisi pasukan Israel.
Menurut pernyataan resmi Pasukan Pertahanan Israel (IDF), salah satu serangan menghantam tiga pejuang Palestina di Gaza tengah saat mereka diklaim sedang memasang bahan peledak.
Baca Juga:
Israel Putus Listrik ke Gaza, Hamas: Upaya Pemerasan yang Murahan
"Serangan lainnya menyasar sejumlah pejuang di Rafah, Gaza selatan," bunyi pernyataan IDF yang dikutip RNTV, Selasa (18/3/2025).
Meski gencatan senjata yang diberlakukan sejak 19 Januari masih berlangsung, serangan udara Israel terhadap Gaza terus terjadi hampir setiap hari.
Serangan terbaru di Gaza utara pada Sabtu lalu menewaskan sembilan orang, termasuk empat jurnalis Palestina. Badan pertahanan sipil Gaza menyebut ini sebagai serangan paling mematikan di satu lokasi sejak kesepakatan gencatan senjata mulai berlaku.
Baca Juga:
Mesir Gelar Konferensi Rekonstruksi Gaza: 100 Negara Siap Berpartisipasi
Hamas mengecam serangan itu sebagai "pelanggaran nyata terhadap gencatan senjata."
Sementara itu, militer Israel mengklaim serangan mereka menargetkan "sel teroris" yang disebut sedang mengoperasikan drone untuk menyerang pasukan Israel.
Militer Israel, Senin (17/3/2025) menyatakan kalau mereka melancarkan serangan udara di Gaza tengah dan selatan dengan klaim kalau serangan itu menargetkan para pejuang Palestina yang berusaha menanam bahan peledak di dekat pasukan Israel yang ditempatkan di wilayah tersebut.
Menurut klaim IDF, satu serangan menghantam tiga pejuang Palestina di Gaza tengah saat mereka sedang menanam bahan peledak.
"Adapun serangan lainnya dari Israel menargetkan beberapa pejuang di Rafah, di Gaza selatan," kata pernyataan IDF dilansir RNTV.
Militer Israel telah melancarkan serangan hampir setiap hari di Gaza, meskipun gencatan senjata yang mulai berlaku pada tanggal 19 Januari sebagian besar masih berlaku, dengan Israel dan Hamas menahan diri untuk tidak kembali berperang habis-habisan.
Pada hari Sabtu, serangan di kota Beit Lahia di Gaza utara menewaskan sembilan orang, termasuk empat wartawan Palestina, kata badan pertahanan sipil wilayah itu, dalam serangan paling mematikan di satu lokasi sejak 19 Januari.
Hamas mengutuk serangan hari Sabtu sebagai "pelanggaran terang-terangan terhadap gencatan senjata".
Militer Israel mengklaim serangan tersebut mengenai “sel teroris”, dan menambahkan bahwa para pejuang Palestina mengoperasikan pesawat tanpa awak yang dimaksudkan untuk melakukan “serangan” terhadap pasukannya.
Krisis Gaza Memburuk
Organisasi kemanusiaan yang beroperasi di Palestina semakin waspada terhadap blokade dan pembatasan baru yang diterapkan Israel.
Mereka khawatir kebijakan ini akan membuat operasi kemanusiaan di Gaza menjadi hampir tidak mungkin dilakukan.
Seorang pejabat senior dari sebuah LSM internasional, yang enggan disebutkan namanya, menggambarkan situasi di Gaza sejak eskalasi konflik sebagai kemunduran drastis.
“Kami terus meluncur ke bawah tanpa ada titik balik, dan kini situasinya sudah mencapai titik terendah. LSM sepakat bahwa kondisi ini tidak bisa diterima,” ujarnya kepada AFP.
Ia meminta identitasnya dirahasiakan demi melindungi kelangsungan operasi organisasinya di Tepi Barat dan Gaza, yang saat ini berada di bawah blokade ketat.
“Kami menghadapi tantangan besar dalam menyalurkan bantuan sambil tetap mempertahankan prinsip kemanusiaan di Gaza. Ditambah dengan pembatasan akses di Tepi Barat, rasanya seperti menyaksikan dunia runtuh,” lanjutnya.
"Ini seperti berusaha memadamkan api besar dengan seember air."
Israel Perketat Kontrol Bantuan
LSM melaporkan bahwa Israel, melalui Koordinasi Kegiatan Pemerintah di Wilayah (COGAT) di bawah Kementerian Pertahanan, telah memperkenalkan kebijakan baru untuk mengendalikan distribusi bantuan kemanusiaan sejak akhir Februari.
Langkah ini meningkatkan kontrol Israel atas distribusi bantuan, termasuk pendirian pusat logistik militer dan pemeriksaan tambahan terhadap pekerja serta penerima bantuan.
Hambat Operasi Kemanusiaan
Seorang anggota LSM medis memperingatkan bahwa aturan baru yang diberlakukan Israel akan membuat operasi kemanusiaan hampir mustahil dari segi logistik.
Ia juga mempertanyakan apakah mereka kini harus memberikan rincian pasien dan data obat-obatan yang digunakan.
Pemerintah Israel mengklaim bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mencegah bantuan jatuh ke tangan kelompok bersenjata.
Namun, LSM menegaskan bahwa kasus seperti itu sangat jarang terjadi. Mereka menilai bahwa solusi sesungguhnya adalah meningkatkan distribusi bantuan—sesuatu yang justru diblokade oleh Israel sejak 2 Maret.
Seorang pejabat LSM Eropa mengkritik tuduhan Israel, dengan menyatakan, “Anggapan bahwa Hamas menggunakan bantuan kemanusiaan untuk membangun kembali kekuatannya adalah kebohongan.
Bantuan ini tidak berisi senjata atau roket.” Ia menambahkan bahwa Israel hanya berupaya memperketat kontrol atas wilayah tersebut.
Sementara itu, COGAT belum memberikan kejelasan kapan aturan baru ini akan diterapkan dan belum merespons permintaan komentar.
Namun, sejak Maret, pemerintah Israel telah memberlakukan prosedur registrasi yang lebih ketat bagi LSM yang bekerja di wilayah Palestina.
Aturan tersebut mengharuskan LSM menyerahkan data rinci mengenai stafnya, serta memberi wewenang kepada Israel untuk menolak pegawai yang dianggap berusaha “mendelegitimasi” negara itu.
Sejak 7 Oktober, LSM melaporkan bahwa tidak ada izin kerja yang diberikan untuk staf asing mereka.
Risiko Meningkat bagi Pekerja Kemanusiaan
LSM yang beroperasi di Palestina menghadapi tantangan yang semakin besar setiap hari.
Berdasarkan laporan PBB terbaru, setidaknya 387 pekerja kemanusiaan telah tewas di Gaza sejak 7 Oktober, beberapa di antaranya gugur saat bertugas.
Dalam wawancara dengan AFP, Philippe Lazzarini, Komisaris Jenderal UNRWA—badan PBB untuk pengungsi Palestina yang baru-baru ini dilarang beroperasi oleh Israel—mengungkapkan bahwa ada diskusi mendalam di antara organisasi kemanusiaan mengenai sejauh mana mereka dapat bertindak sambil tetap mempertahankan prinsip independensi dan nondiskriminasi.
Amjad Al-Shawa, kepala Jaringan LSM Palestina, menegaskan perlunya solidaritas dalam menghadapi kebijakan pembatasan ini.
Ia melihat langkah tersebut sebagai cara bagi Israel untuk menghindari pertanggungjawaban atas tindakannya.
Dengan lebih dari 30 tahun pengalaman di sektor bantuan kemanusiaan, Al-Shawa menggambarkan situasi saat ini sebagai ancaman besar bagi keberlangsungan misi kemanusiaan. “Nyawa manusia kini menjadi taruhannya,” tegasnya.
Pimpinan sebuah LSM internasional menambahkan, “Batas yang tidak boleh dilewati sudah terlampaui.”
Namun, beberapa pihak memilih bersikap lebih berhati-hati. Seorang pekerja medis menyoroti risiko konsekuensi politik, dengan mengatakan, “Jika kami menentang kebijakan ini, kami akan dicap anti-Semit.”
Ia juga menambahkan bahwa prinsip moral saja tidak cukup untuk menghadapi kebutuhan kemanusiaan yang semakin mendesak.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]