WahanaNews.co, Jakarta - Beberapa minggu yang lalu, India menerapkan Amendemen Undang-Undang Kewarganegaraan terbaru.
Undang-undang ini sebenarnya dirancang untuk mempermudah proses naturalisasi bagi umat Hindu, Parsi, Sikh, Budha, Jain, dan Kristen yang telah melarikan diri dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan sebelum 31 Desember 2014.
Baca Juga:
Sosok Sheikh Hasina, PM Bangladesh Kabur ke India yang Mundur-Kabur karena Demo
Namun, aturan baru ini telah menimbulkan kontroversi karena mengesampingkan warga Muslim, yang merupakan mayoritas di ketiga negara tersebut.
Salah satu kelompok yang sangat prihatin dengan hal ini adalah pengungsi etnis Rohingya. Mereka khawatir bahwa undang-undang ini bisa menyebabkan deportasi kembali ke Myanmar, negara asal mereka, di mana mereka sering kali menjadi sasaran persekusi.
Muhammad Hamin adalah salah satu dari mereka yang sangat cemas. Sejak tanggal 8 Maret, ketika pemerintah negara bagian Manipur di India timur laut memerintahkan deportasi pengungsi Rohingya, ia mengaku kesulitan tidur nyenyak.
Baca Juga:
PM Bangladesh Undur Diri, Hasina Mengungsi ke India
Hamin, seorang pengungsi Rohingya yang tiba di India pada tahun 2018, tinggal di New Delhi, sekitar 1.700 km dari Manipur. Dia khawatir bahwa rencana deportasi di Manipur dapat menjadi program nasional, yang kemungkinan akan memaksa dirinya juga untuk diusir kembali.
Hal ini pun akhirnya terjadi. Tiga hari setelah pemerintah Manipur memulai tindakan kerasnya terhadap Rohingya, pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi pada tanggal 11 Maret mengumumkan penerapan UU Amandemen Kewarganegaraan ini untuk seluruh wilayah India.
"Berita deportasi tentu saja memicu kepanikan di antara sebagian besar warga negara Myanmar yang tinggal di India karena tidak ada yang tahu siapa yang akan keluar lagi dan menghadapi kengerian kekerasan dan pertumpahan darah yang sama," katanya dikutip Al Jazeera, Rabu (27/3/2024).
Selain Rohingya, yang tidak termasuk dalam daftar penerima manfaat UU Amandemen Kewarganegaraan adalah komunitas Muslim dari negara-negara yang menjadi lokasi kekerasan, seperti Ahmadiyah di Pakistan, dan Hazara di Afghanistan.
"Kami juga menjadi korban persekusi agama, sama seperti warga tiga negara lain yang akan diberikan kewarganegaraan. Kami juga merupakan minoritas di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Namun pemerintah India tidak peduli terhadap kami hanya karena kami adalah Muslim," kata seorang aktivis hak asasi manusia Rohingya.
Nasib Makin Tak Jelas
Bagi etnis Rohingnya yang mengungsi ke India, UU ini telah membawa masa depan suram bagi mereka. Dalam sidang pekan lalu mengenai permohonan yang menentang deportasi warga Rohingya, pemerintah mengatakan kepada Mahkamah Agung bahwa kelompok tersebut tidak memiliki hak dasar untuk tinggal di India.
Melansir CNBC Indonesia, aktivis Rohingya menyebut bahwa hal itu keliru. Pasalnya mereka memiliki kartu pengungsi yang dikeluarkan oleh UNHCR tetapi pemerintah India mengklaim pihaknya tidak memiliki hak dasar untuk tinggal di India.
Pernyataan ini ditentang keras oleh advokat Mahkamah Agung Colin Gonsalves. Ia mengatakan konstitusi India melindungi hak-hak kelompok Rohingya.
"Pengadilan tinggi memperjelas bahwa perlindungan terhadap kehidupan para pengungsi adalah hak konstitusional. Mereka dilindungi berdasarkan kebijakan non-refoulement atau non-return yang menyatakan bahwa seorang pengungsi tidak dapat dikirim kembali ke tempat dimana dia melarikan diri karena takut akan serangan fisik atau seksual," paparnya.
Sementara itu, aktivis pro-Rohingya, Salai Dokhar, khawatir deportasi warga Rohingya dapat membahayakan nyawa para pengungsi di tengah perang saudara di Myanmar yang muncul setelah kudeta militer di negara tersebut pada tahun 2021.
"Kami khawatir para pengungsi akan digunakan oleh tentara Myanmar sebagai tameng manusia dalam perang sipil atau akan diperlakukan buruk karena meninggalkan negara tersebut," tegasnya.
Aktivis Rohingya yang berbasis di Jerman, Nay San Lwin, mengatakan bahwa media India sering menggambarkan Rohingya sebagai ancaman keamanan nasional yang potensial telah memperburuk keadaan mereka.
"Pemerintah sayap kanan India tidak mempunyai pandangan positif terhadap kami dan situasi ini hanya diperparah oleh sikap apatis media," pungkasnya.
"Kami hanya memerlukan perlindungan untuk tinggal di sini (sampai) situasi di negara kami menjadi normal. Namun masa depan tampaknya gelap bagi kami.
Dalih Pemerintah
Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan memberikan jalur cepat menuju naturalisasi bagi umat Hindu, Parsi, Sikh, Budha, Jain, dan Kristen yang melarikan diri ke India yang mayoritas penduduknya Hindu dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan sebelum 31 Desember 2014. Undang-undang tersebut mengecualikan warga Muslim, yang merupakan mayoritas di ketiga negara tersebut.
Undang-undang ini juga mengubah undang-undang sebelumnya yang menghalangi migran ilegal menjadi warga negara India, dan ini menjadi kali pertama India - sebuah negara yang menganut prinsip sekular dengan populasi yang beragam agama - menetapkan kriteria agama sebagai syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan.
Pemerintah India menyatakan bahwa mereka yang memenuhi syarat dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan India melalui portal online.
Penerapan undang-undang ini merupakan salah satu dari janji utama dalam manifesto Partai Bharatiya Janata yang dipimpin oleh Modi menjelang pemilihan umum, yang dijadwalkan berlangsung pada bulan Mei.
Pemerintahan Modi telah menolak pandangan bahwa undang-undang ini diskriminatif, dan mereka mempertahankannya sebagai langkah kemanusiaan.
Mereka berargumen bahwa undang-undang tersebut hanya dimaksudkan untuk memberikan kewarganegaraan kepada kelompok agama minoritas yang mengalami penganiayaan dan tidak akan digunakan terhadap warga negara India.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]