WahanaNews.co | Pada
Senin (12/07), Presiden Cyril Ramaphosa mengatakan bahwa kerusuhan mematikan
yang melanda Afrika Selatan saat ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ia pun
mengerahkan pasukan militer untuk membantu polisi menangani kekerasan dan
penjarahan yang dipicu oleh pemenjaraan mantan Presiden Jacob Zuma itu.
Baca Juga:
Presiden Jokowi Lakukan Kunker 4 Negara di Kawasan Afrika
Pasukan militer diturunkan ke jalan-jalan dari dua provinsi
paling padat di Afrika Selatan, yaitu Gauteng (provinsi dari pusat ekonomi
negara, Johannesburg) dan KwaZulu-Natal (provinsi kelahiran Zuma).
"Selama beberapa hari terakhir, ada tindakan kekerasan
publik yang jarang terlihat dalam sejarah demokrasi kita," kata Ramaposha
dalam sebuah siaran televisi seraya menambahkan bahwa ia prihatin dan sedih.
Sudah dua hari berturut-turut Ramaposha menyampaikan keterangan persnya akibat
kerusuhan yang terjadi.
Baca Juga:
KPK Temukan Keberadaan Buronan e-KTP di Afrika Selatan, Tapi Tak Bisa Tangkap
Kerusuhan menelan
korban jiwa
Sedikitnya 10 orang tewas dan 489 orang telah ditangkap
akibat kerusuhan yang terjadi, demikian dilaporkan oleh kantor berita AFP.
Menurut Ramaposha, kerusuhan telah mengganggu kunci rantai
pasokan yang berpotensi menempatkan Afrika Selatan dalam "risiko besar
kekurangan makanan dan obat-obatan" dalam beberapa hari ke depan. Hal ini
dapat membahayakan kehidupan masyarakat, terutama di saat pandemi seperti
sekarang, tambahnya.
Selain itu, kerusuhan juga telah mengganggu program
vaksinasi Afrika Selatan yang baru saja mendapatkan momentumnya, kata
Ramaposha.
Kerusuhan diwarnai dengan pembakaran sebuah pusat
perbelanjaan besar di bagian timur negara pada Senin (12/07). Sementara di
Gauteng, penjarahan terjadi di beberapa pusat perbelanjaan, toko, dan
mesin-mesin ATM.
Di Johannesburg, para pengunjuk rasa memblokir transportasi
seperti bus dan kereta api, dan membarikade jalan di pusat kota, demikian
dilaporkan stasiun televisi eNCA.
Menurut Ramaposha, aksi unjuk rasa ini telah berubah menjadi
"kekerasan bermotif etnik." Seperti diketahui, Zuma adalah anggota
dari kelompok etnis Zulu, sementara Ramaposha adalah bagian dari kelompok
Venda. Kerusuhan juga telah menyebabkan kerugian senilai 100 juta rand (setara
dengan Rp101 miliar), menurut juru bicara pemerintah pada Minggu (11/07).
Zuma dalam jeratan
kasus korupsi
Kerusuhan yang memanas di Afrika Selatan terjadi saat
Pengadilan Tinggi negara pada Senin (12/07) menggelar sidang untuk mendengar
permohonan pihak Zuma guna membatalkan hukuman penjara 15 bulan yang ia terima.
Zuma telah mulai menjalani hukuman pada Kamis (08/07) pekan lalu.
Zuma dijatuhi hukuman karena menentang perintah pengadilan
konstitusi untuk memberikan bukti atas penyelidikan korupsi tingkat tinggi yang
terjadi selama sembilan tahun kepemimpinannya, tepatnya hingga 2018.
Zuma menolak bekerja sama dalam penyelidikan kasus korupsi
yang menuduhnya mengizinkan tiga pengusaha kelahiran India (Atul, Ajay, dan
Rajesh gupta) menjarah sumber daya negara dan mempengaruhi kebijakan
pemerintah.
Zuma juga menghadapi kasus korupsi yang berkaitan dengan
kesepakatan senjata senilai $2 miliar (Rp28,9 triliun) pada tahun 1999 ketika
ia menjabat sebagai wakil presiden.
Hukuman penjara ini menandai kejatuhan yang signifikan bagi
Zuma, yang merupakan seorang aktivis anti-apartheid terkemuka dan pemimpin
gerakan pembebasan yang berubah menjadi partai penguasa, Kongres Nasional
Afrika (ANC). [dhn]