WahanaNews.co | Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI menyesalkan pernyataan Duta Besar (Dubes) Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin.
Hamianin menyindir perbedaan sikap pemerintah Indonesia atas serangan Israel di Gaza, Palestina, dengan serangan Rusia ke Ukraina.
Baca Juga:
Rayakan Hari Kemerdekaan, Dubes Ukraina: Ogah Balik Lagi ke Zaman Uni Soviet
Sindiran itu disampaikan Dubes Hamianin melalui media sosial (medsos).
Juru bicara Kemenlu RI, Teuku Faizasyah, menegaskan, sikap Dubes Hamianin sangat tidak patut dan bertentangan dengan pelaksanaan tugas dan misi diplomasi seorang duta besar.
"Ukraina tersebut sangatlah tidak patut dalam rangka seorang duta besar menajalankan misi diplomatiknya di satu negara. Karena mempertanyakan kebijakan politik luar negeri Indonesia," kata Faizasyah, melalui keterangan tertulisnya, Kamis (11/8/2022).
Baca Juga:
Harapan Dubes Ukraina: Invasi Rusia Usai Sebelum KTT G20!
Faizasyah menegaskan, pihaknya melalui Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kemlu RI, Ngurah Swajaya, telah memanggil Dubes Hamianin pada 9 Agustus 2022 lalu.
Dalam kesempatan itu, pemerintah Indonesia mengecam pernyataan Dubes Hamianin.
"Kami telah memanggil Dubes Ukraina di Jakarta untuk menyampaikan ketidaksenangan pemerintah atau displeasure, dan sekaligus juga mengecam postingan yang bersangkutan di media sosial Kemnlu yang mempertanyakan kebijakan politik luar negeri pemerintah Indonesia," kata Faizasyah.
"Karena sudah mempertanyakan apa yang menjadi ekspresi masyarakat terkait satu isu dan dibandingkan dengan kondisi Ukraina," ujar Faizasyah.
Faizasyah menilai, tindakan mengomentari kebijakan pemerintah RI bertentangan dengan kaidah pelaksana tugas dan misi diplomatik sebagai seorang dubes.
Sebelumnya, Dubes Hamianin mengekspresikan kekecewaan karena Kemlu RI merilis pernyataan kecaman soal serangan Israel di Gaza, Palestina, pekan lalu.
"Bagaimana dengan kecaman kuat terhadap serangan brutal di Ukraina selama 5 bulan terakhir? Dan kematian ratusan orang jika termasuk anak-anak dan umat Muslim?" tulisnya.
Sebaliknya, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE), Josep Borrell, mengakui bahwa Uni Eropa bias dalam hubungan internasional.
Hal itu ketika Uni Eropa jauh lebih bersedia untuk mendukung rakyat Ukraina daripada penduduk Muslim di Palestina.
Demikian laporan kantor berita RT, Kamis (11/8/2022).
Hal ini dijawab Borrell ketika ditanya dalam sebuah wawancara mengapa Brussels jauh lebih bersedia untuk mendukung rakyat Ukraina daripada rakyat Gaza.
Ia mengatakan bahwa Konflik Timur Tengah bukan di berada di bawah kendali Uni Eropa, melainkan Amerika Serikat.
"Kami sering dikritik karena 'selektif'. Namun, arena politik internasional melibatkan kebijakan pilih kasih,” katanya.
"Perlu dicatat bahwa kami (UE) tidak menggunakan kriteria yang sama untuk semua masalah," kata Borrell kepada surat kabar El Pais.
Menurut Borrell, pilihan Uni Eropa untuk mendukung Kiev melawan Moskow adalah bentuk kesadaran dan penebusan moral Barat setelah gagal melakukannya dalam konflik di Palestina.
"Menyelesaikan krisis warga Palestina yang dikurung di 'penjara terbuka' seperti yang ada di Gaza tidak berada di bawah yuridiksi UE," katanya.
Dia menyebut situasi kehidupan miskin di Gaza memalukan dan tidak bermoral, tetapi menolak untuk terlibat dalam krisis kemanusiaan di wilayah itu.
Jalur Gaza berada di bawah blokade Israel.
Rezim Zionis Israel mengklaim bahwa tindakan blockade tersebut adalah satu-satunya cara untuk menahan ancaman gerakan Hamas yang menguasai wilayah tersebut.
Di sisi lain, para kritikus mengatakan bahwa penindasan orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat hanya menciptakan lebih banyak kebencian dan radikalisme yang melanggengkan siklus kekerasan Arab-Israel.
Borrell menjelaskan bahwa tidak akan ada solusi untuk konflik di Asia Barat tanpa komitmen yang sangat kuat dari pihak AS.
"Banyak upaya telah dilakukan di masa lalu tetapi melihat situasi saat ini, tidak ada solusi untuk krisis Palestina-Israel seperti yang diharapkan," kata Borrell.
AS menunjukkan dukungan tak tergoyahkan kepada Israel bahkan ketika Rezim Zionis terus membangun permukiman ilegal di wilayah Palestina yang diduduki.
Kritikus terhadap Washington, termasuk kepemimpinan otoritas Palestina, mengatakan pihaknya telah lama kehilangan kredibilitasnya sebagai mediator yang tidak memihak dalam konflik tersebut. [gun]