WahanaNews.co | Kepanikan terjadi di Bandara
Kabul, Afghanistan, menyebabkan setidaknya dua orang meninggal,
setelah Taliban memasuki ibu kota.
Para
saksi mata di Kabul mengatakan kepada BBC,
korban meninggal akibat terinjak-injak karena panik setelah pasukan Amerika
Serikat yang menguasai bandara melepaskan tembakan ke udara untuk membubarkan
massa.
Baca Juga:
Taliban: Tugas Wanita Itu Melahirkan, Bukan Jadi Menteri
Kantor
berita Reuters menyebutkan, jumlah
yang meninggal lebih tinggi, dengan mengutip satu saksi mata yang mengatakan melihat
jenazah 5 orang diangkut.
Saksi
mata lain mengatakan, tidak jelas apakah korban tewas karena tertembak atau terinjak-injak.
Melansir
BBC pada Senin (16/8/2021), ratusan
orang menuju ke bandara, berupaya meninggalkan Afghanistan dan berebut masuk ke
pesawat.
Baca Juga:
Taliban Izinkan Perempuan Afghanistan Kuliah, Tapi…
Pesawat
komersial telah dibatalkan.
Sebelumnya,
AS mengatakan, semua staf kedutaan telah berada di bandara internasional
dan siap diterbangkan.
Kementerian
Luar Negeri AS mengatakan, selain menerbangkan ribuan warga AS dan keluarga, mereka
juga akan mempercepat evakuasi warga Afghanisan yang berhak mendapatkan visa
khusus AS.
AS
telah mengirimkan 6.000 pasukan untuk membantu evakuasi.
Lebih
dari 60 negara mengeluarkan pernyataan bersama dan menyerukan agar Taliban
mengizinkan orang-orang meninggalkan Afghanistan dengan aman.
KBRI Masih Berfungsi
Sementara
itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan tetap mempertahankan Kantor
KBRI di Kabul dengan memperkecil jumlah staf yang bekerja sambil memantau
situasi keamanan.
"Betul,
KBRI masih menjalankan fungsinya," kata Juru bicara Kemenlu Indonesia,
Teuku Faizasyah, kepada wartawan, Senin (16/8/2021) pagi.
Faizasyah
menambahkan, dengan dinamika politik yang terjadi di sana, sejumlah staf
yang bekerja rencananya akan dievakuasi.
Tapi,
tetap mempertahankan staf inti.
"Ini
masih kita terus pastikan, setidaknya tadi unsur diplomat, unsur keamanan dan
administrasi tidak lebih dari sepuluh," katanya.
Sejauh
ini, KBRI Kabul tetap berpegang pada rencana kontijensi yang
menjadi pegangan untuk penanggulangan situasi kritis dan darurat.
"Seperti
perkembangan di Kabul ini pun sudah melalui konstultasi (pemerintah pusat) dan
yang pokok adalah tugas itu tidak akan disfungsi, namun jumlahnya akan
diperkecil sesuai kebutuhan," lanjut Faizasyah.
Jumlah
WNI yang berada di Afghanistan dilaporkan sebanyak 6 orang.
"Ada
beberapa yang bekerja untuk misi PBB, sehingga mereka terikat kontrak dan bisa
saja mereka ikut apabila pemulangan dilakukan," kata Faizasyah.
Selain
itu, Faizasyah juga mengatakan, staf dan diplomat Indonesia yang masih bertugas di Kabul
sudah mendapat jaminan keselamatan dari pihak Taliban.
"Sudah
memperoleh juga. Kalau kita cermati ke belakang di mana Indonesia ikut aktif
dalam proses perundingan damai yang dilakukan pemerintah, dengan Afghanistan.
Kita ikut hadir paling tidak, dilibatkan sebagai partisipan," katanya.
Situasi di
Afghanistan
Sebelumnya,
Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, telah meninggalkan negara itu ketika kelompok bersenjata
Taliban memasuki ibu kota, Kabul, pada Minggu (15/8/2021).
Ia
dilaporkan terbang menuju Tajikistan.
Wakil
Presiden, Amrullah Saleh, juga dilaporkan menyelamatkan diri ke luar negeri.
Kepastian
kepergian Ghani antara lain dikonfirmasi oleh Abdullah Abdullah, Ketua Dewan
Tinggi Rekonsiliasi Nasional, lembaga yang dibentuk untuk berunding dengan
unsur-unsur Taliban.
Menyebutnya
sebagai "mantan presiden", Abdullah mengatakan Ghani telah
"meninggalkan bangsa dan negara ini dalam situasi yang seperti ini".
Suasana di Afghanistan sendiri, kemacetan luar biasa terjadi di
seluruh sudut Kota Kabul, ketika warga berusaha melarikan diri.
Pengungsi
dalam negeri, yang sebelumnya menyelamatkan diri dari pertempuran di
daerah-daerah, kini berusaha kembali ke desa-desa mereka.
Di
sejumlah sudut kota, anjungan tunai mandiri dirusak setelah kehabisan uang.
Rekaman
video yang disiarkan oleh kantor berita pro-Taliban menunjukkan para tahanan
dibebaskan dari Penjara Pul-e-Charkhi di Kabul, penjara terbesar di
Afghanistan.
Juru
bicara Taliban, Suhail Shaheen, mengatakan bahwa penduduk Kabul tidak perlu mengkhawatirkan
keselamatan nyawa dan harta benda mereka.
"Kami
adalah abdi rakyat dan abdi negara ini," kata Shaheen.
Ditambahkan
Shaheen bahwa kelompoknya tak menghendaki warga melarikan diri, tetapi tetap
tinggal di negara itu dan membantu pembangunan kembali pasca-konflik.
Sebelumnya,
sejumlah saksi mata menyatakan bahwa milisi itu hanya menemui sedikit
perlawanan menuju Kabul.
Pimpinan
Taliban memerintahkan para anggotanya untuk menahan diri melakukan kekerasan
dan menjamin keamanan bagi mereka yang ingin meninggalkan Afghanistan lewat
Kabul.
Demikian
ungkap seorang pimpinan Taliban di Doha, Qatar, kepada kantor berita Reuters.
Dia
juga meminta para perempuan untuk menuju ke kawasan perlindungan.
Gerak Cepat Taliban
Kurang
dari 2 hari, kelompok militan Taliban telah menguasai 2 ibu kota provinsi di
Afghanistan, sebulan setelah penarikan tergesa-gesa pasukan koalisi Barat dari
negara tersebut.
Taliban
mengeklaim telah menguasai kota Sheberghan di Provinsi Jawzjan, dan merebut Kota
Zaranj, di Provinsi Nimroz.
Seorang
juru bicara kementerian pertahanan Afghanistan mengatakan bahwa pasukan
pemerintah saat itu masih berada di Kota Sheberghan dan akan segera menyingkirkan Taliban dari
sana.
Namun,
penguasaan Taliban tersebut adalah pukulan besar bagi pasukan keamanan
Afghanistan, yang harus menghadapi pertempuran di seluruh negeri.
Ada
juga laporan tentang pertempuran sengit di Kunduz di utara dan Lashkar Gah di
selatan.
Militan
Taliban telah membuat kemajuan pesat dalam beberapa pekan terakhir, merebut
sebagian besar pedesaan, dan sekarang menargetkan kota-kota utama.
Kekerasan
meningkat di Afghanistan usai Amerika Serikat dan negara internasional lainnya menarik
pasukan mereka dari negara itu, setelah 20 tahun operasi militer.
Jatuhnya Kota Benteng Pertahanan Pemerintah
Kota
Sheberghan adalah wilayah dari mantan Wakil Presiden dan Panglima Perang Afghanistan, Abdul Rashid Dostum, yang
menjadi benteng pertahanan pemerintah dalam memimpin perang melawan
pemberontak.
Media
lokal melaporkan bahwa 150 orang melakukan perjalanan ke kota itu untuk
membantu pasukan Afghanistan.
Taliban
pertama kali menguasai kompleks Gubernur pada Jumat (13/8/2021) dalam pertempuran sengit,
sebelum direbut kembali oleh pasukan keamanan Afghanistan.
Namun,
kepala dewan wilayah itu, Babur Eshchi, mengatakan bahwa para militan kini
menguasai seluruh kota, kecuali sebuah pangkalan militer, di mana pertempuran
masih berlangsung.
Juru
bicara Kementerian Pertahanan Afghanistan, Fawaad Aman,
mengatakan bahwa pasukan pemerintah masih berada di "mayoritas" kota
itu, termasuk bandara, dan bersikeras bahwa Sheberghan akan "segera bersih
dari teroris".
Namun,
Aman mengakui bahwa Taliban telah merebut beberapa bagian kota, dan pasukan
pemerintah telah mundur "untuk mencegah jatuhnya korban sipil".
Menurut
Kementerian Pertahanan Afghanistan, pesawat pengebom B-52 AS telah
menyerang lokasi Taliban di kota itu.
Di sisi
lain, pejabat Taliban mengatakan mereka telah "memenjarakan"
Sheberghan.
Video
di media sosial menunjukkan ratusan narapidana meninggalkan penjara kota.
Kota Jatuh Tanpa Ada Perlawanan
Sementara
itu di kota lain, kelompok Taliban mengklaim kemenangan di Zaranj, pusat
perdagangan utama di dekat perbatasan Iran, dalam sebuah unggahan yang
dibagikan di Twitter.
"Ini
adalah permulaan, dan lihat bagaimana provinsi-provinsi lainnya segera jatuh ke
tangan kita," kata seorang komandan Taliban kepada Kantor berita Reuters.
Foto-foto
yang diunggah di media sosial memperlihatkan warga sipil menjarah barang-barang
dari gedung-gedung pemerintah.
Beberapa
anggota pemberontak Taliban difoto di dalam bandara setempat dan berpose di
ruas jalan yang mengarah ke kota Zaranj.
Mereka
terus berupaya merebut kota itu setelah merebut beberapa distrik di sekitarnya.
Namun
demikian, Wakil Gubernur Nimroz, Roh Gul Khairzad, mengatakan kepada wartawan bahwa
Zaranj jatuh "tanpa perlawanan".
Dia dan
pejabat lokal lainnya mengeluhkan kurangnya bantuan dari pemerintah
Afghanistan.
"Kota
itu berada di bawah ancaman, tetapi tidak ada seorang pun dari pemerintah pusat
yang mendengarkan kami," kata Khairzad.
Taliban
terakhir kali merebut ibu kota provinsi itu pada 2016, ketika mereka menguasai
sekejap Kota Kunduz di wilayah utara.
Wilayah Lain dalam Tekanan
Kelompok
pemberontak terus membuat kemajuan pesat di seluruh negeri ketika pasukan asing
mundur.
Mereka
menguasai kawasan pedesaan dan saat ini menargetkan kota-kota utama.
Beberapa
ibu kota provinsi lainnya, yang saat ini berada di bawah tekanan, di antaranya
Herat di wilayah barat, dan kota-kota di daerah selatan, seperti Kandahar dan
Lashkar Gah.
Militer
Afghanistan mengatakan, puluhan pemberontak, termasuk komandan senior, telah tewas
di Lashkar Gah.
Namun,
Taliban membantah versi militer tentang kejadian tersebut.
Pasukan
pemerintah berjanji tidak akan kehilangan kota penting yang strategis itu, dan
pertempuran di sana berlangsung sengit.
Para
pejabat telah mendesak warga sipil untuk mengungsi, di mana ribuan orang
terjebak atau melarikan diri demi menyelamatkan diri.
Di
Herat, warga juga telah meninggalkan rumahnya untuk mengantisipasi serangan
pemerintah terhadap posisi kelompok Taliban.
"Kami
tidak punya apa-apa lagi dan kami tidak tahu harus pergi ke mana," kata
seorang warga kepada kantor berita AFP.
Dan di
ibukota Afghanistan, Kabul, minggu ini, Taliban menembak mati mantan juru bicara
Presiden Ashraf Ghani dan melakukan serangan bom di rumah penjabat menteri
pertahanan.
Pejuang
Taliban juga telah merebut perbatasan utama dengan negara-negara tetangga dalam
beberapa pekan terakhir.
Kelompok
militan telah menutup perbatasan dengan Pakistan, dan gambar-gambar menunjukkan
puluhan warga Afghanistan terdampar di sisi Pakistan, tidak dapat kembali ke
keluarga mereka.
"Kami
datang [ke Pakistan] untuk menghadiri pemakaman tiga hari lalu. Sekarang
perbatasan ditutup. Kami duduk di sini. Kami tidak punya makanan dan
uang," kata seorang pria. yang berusaha pulang ke Kandahar, kepada kantor berita Reuters.
Utusan
khusus PBB untuk Afghanistan, Deborah Lyons, pada Jumat (13/8/2021), mengatakan, perang
di sana telah memasuki "fase baru, lebih mematikan, dan lebih
merusak", dengan lebih dari 1.000 warga sipil tewas dalam sebulan
terakhir.
Dia
memperingatkan bahwa negara itu tengah menuju "malapetaka", dan
meminta Dewan Keamanan PBB supaya mengeluarkan "pernyataan jelas bahwa
serangan terhadap kota-kota harus dihentikan sekarang juga".
Pemerintah
AS dan Inggris telah mendesak warganya untuk segera meninggalkan negara itu
karena situasi keamanan yang memburuk.
Pada
Jumat (13/8/2021), Kantor Luar Negeri Inggris memperingatkan bahwa militan
sangat mungkin untuk melakukan serangan di Afghanistan.
AS
mengatakan, warga negara dapat menerima pinjaman repatriasi jika mereka
tidak mampu membayar sendiri penerbangan komersial.
Penghinaan terhadap Hak Asasi Manusia
Sebelumnya, pada
Jumat (13/8/2021), direktur pusat media pemerintah Afghanistan dibunuh oleh
kelompok militan Taliban di ibu kota Kabul.
Dawa
Khan Menpal ditembak mati saat meninggalkan masjid di mobilnya.
Taliban
mengatakan, dia "dihukum karena perbuatannya".
Negara-negara
mitra pemerintah Afghanistan mengutuk pembunuhan itu dan menganggapnya sebagai
tindakan mengejutkan dan pengecut.
Kuasa
usaha AS untuk Afghanistan, Ross Wilson, mengunggah tweet bahwa dia "sedih dan muak" dengan pembunuhan itu,
seraya menambahkan: "Pembunuhan ini merupakan penghinaan terhadap hak
asasi manusia dan kebebasan berbicara bagi warga Afghanistan."
Beberapa
hari sebelumnya, serangan terhadap kediaman menteri pertahanan Afghanistan di
Kabul menewaskan sedikitnya delapan orang.
Sang
menteri, Bismillah Khan Mohammadi, tidak berada di rumah saat serangan
tersebut.
Pada
pertemuan Dewan Keamanan PBB pada Jumat
(13/8/2021), para
perwakilan menyuarakan keprihatinan atas pertumpahan darah yang terus
berkembang di negeri itu.
Utusan
Afghanistan, Ghulam Isaczai, meminta Dewan Keamanan agar mengambil tindakan guna menekan
Taliban supaya menghentikan serangannya dan mengambil bagian dalam pembicaraan
damai.
"Adalah
tanggung jawab kita bersama untuk menghentikan mereka menghancurkan Afghanistan
dan mengancam komunitas dunia," katanya.
Sementara
itu, ketua Komisi Hak Asasi Manusia Independen Afghanistan mengatakan bahwa
negara-negara di kawasan khususnya perlu memberi tahu Taliban bahwa upaya
merebut kekuasaan melalui kekerasan itu berarti bahwa pemerintahan mereka tidak
akan diakui. [dhn]