WahanaNews.co | Seorang remaja Arab bernama Nahel Merzouk ditembak mati oleh Polisi Prancis baru-baru ini. Kejadian tersebut memicu aksi kerusuhan yang memanas.
Namun demikian, aksi protes tersebut kini mulai mereda setelah pemakaman Nahel Merzouk yang dilakukan pada Jumat (30/6/2023).
Baca Juga:
Cerita CEO Telegram Pavel Durov Diduga Miliki Empat Paspor
Bahkan, Pemerintah Prancis pun telah memperketat keamanan dengan menyiagakan sekitar 45.000 polisi di jalanan untuk mengantisipasi terjadinya kerusuhan.
Dilansir dari Okezone, Nabel merupakan seorang remaja keturunan Aljazair dan Maroko yang berusia 17 tahun, yang ditembak mati polisi saat pemeriksaan lalu lintas di Nanterre, di pinggiran kota Paris, pada Selasa (27/6/2023).
Demonstrasi dan kerusuhan selama lima malam telah menghancurkan puluhan mobil dan toko. Para demonstran juga menarget balai kota, kantor polisi dan sekolah-sekolah; semua bangunan yang merepresentasikan pemerintah Prancis.
Baca Juga:
Turut Meriahkan Pra Olimpiade Paris 2024, PLN Hadirkan Reog Ponorogo di Acara Exhibition Pencak Silat
Kementerian Dalam Negeri Prancis mengatakan 719 orang ditangkap Sabtu, (1/7/2023) malam, lebih sedikit dibanding 1.311 orang yang ditangkap Jumat malam, dan 875 orang yang ditangkap Kamis, (29/6/2023) malam.
“Empat puluh lima ribu polisi dan ribuan petugas pemadam kebakaran yang dimobilisasi untuk menertibkan situasi telah membuat malam ini lebih tenang,” cuit Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin di Twitter.
Kerusuhan terbesar terjadi di Marseille di mana polisi menembakkan gas air mata dan terlibat baku hantam dengan sejumlah remaja hingga larut malam.
Di Paris, aparat keamanan berbaris di Champs Elysees Avenue yang terkenal setelah muncul seruan di media sosial untuk berkumpul di tempat itu. Toko-toko di sekitar lokasi ini ditutup untuk mencegah kerusakan lebih luas.
Meskipun demonstrasi dan kerusuhan mulai surut, Walikota L’Hay-les-Roses di pinggiran kota Paris, Vincent Jeanburn mengatakan istri dan salah seorang anaknya luka-luka ketika mereka berupaya melarikan diri dari rumah setelah sebuah mobil merangsek ke rumah mereka dan terbakar. Saat kejadian Jeanburn sedang tidak berada di rumah.
Kepala Kepolisian Paris Laurent Nunez menyebut serangan ini sebagai tindakan yang direncanakan. Ia memastikan tidak akan mengurangi jumlah personil polisi yang menjaga seluruh wilayah Prancis untuk menghadapi berbagai aksi demonstrasi dan kerusuhan.
“Saya ingin mengirim pesan yang tegas, bahwa kami akan sangat reaktif, dan sebagaimana yang telah kami lakukan di malam-malam sebelumnya, kami akan melakukan penangkapan secara masif. Kami akan terus melakukan pekerjaan kami, yaitu mengatasi aksi kekerasan da pelanggaran di mana pun di wilayah ini,” kata polisi sebagaimana dilansir VOA Indonesia.
Tim jaksa mengatakan seorang polisi yang mengaku melepaskan tembakan yang membunuh Nahel telah memberitahu mereka bahwa ia melakukan hal itu karena ingin mencegah perburuan dan khawatir ia dan orang lain akan luka-luka akibat perburuan itu.
Polisi yang terlibat itu sedang diselidiki karena “voluntary homicide,” atau tindakan membunuh orang lain secara melawan hukum dengan tanpa direncanakan terlebih dahulu, atau sebagai akibat dari suatu keadaan.
Polisi itu telah menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban.
Ibu Nahel mengatakan kepada stasiun televisi France 5 bahwa ketika polisi melihat “seorang anak yang kelihatan seperti seorang Arab, ia ingin mengambil nyawanya.”
Kelompok-kelompok hak asasi dan warga yang tinggal di kawasan berpendapatan rendah dengan penduduk dari ras campuran, yang mengelilingi kota-kota besar di Prancis, telah sejak lama mengeluhkan kekerasan polisi dan rasisme sistemik di lembaga penegak hukum.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan kerusuhan yang terjadi ini merupakan kesempatan bagi Prancis “untuk mengatasi masalah rasisme yang sangat dalam soal penegakan hukum.”
Presiden Emmanuel Macron menyangkal adanya rasisme sistemik di Prancis. Meskipun demikian pada Minggu, (2/7/2023) Macron melangsungkan pertemuan khusus dengan sejumlah menteri dan pejabat keamanan untuk mengkaji situasi yang bergejolak itu.
Macron telah menangguhkan lawatan kenegaraannya ke Jerman, yang sedianya dimulai pada Minggu 2 Juli ini. Lawatan yang direncanakan sejak lama ini awalnya diproyeksikan sebagai lawatan pertama seorang presiden Prancis ke Jerman dalam 23 tahun. [sdy]