WahanaNews.co | Ketua MK Turki, Zühtü Arslan dan Presiden MK Latvia Aldis Lavinś hadir dalam pertemuan MK sedunia.
Zühtü menyampaikan bahwa MK Turki memiliki peran untuk menengahi konflik terutama mengenai konflik agama, salah satunya soal pelarangan jilbab di Turki.
Baca Juga:
Trump Tegaskan Warga Palestina yang Pergi dari Gaza Tak Bisa Kembali
Menurut Zühtü, penggunaan jilbab di Turki sudah menjadi konflik sosial.
Dalam putusannya, MK Turki mendasarkan putusannya pada hak individu serta HAM.
"Pada 2020, MK Jerman memutus pelarangan penggunaan jilbab sesuai dengan konstitusi. Sementara di Prancis, penggunaan jilbab selalu menjadi kontroversi. Sementara di Turki, telah ada diskusi intens mengenai pelarangan jilbab. Pada 2008, MK membatalkan larangan jilbab di lingkungan kampus, karena melanggar hak konstitusional. MK Turki telah mengambil jalan berbeda yang lebih berpihak pada individu dan berbasis hak," papar Zühtü.
Baca Juga:
Pangkalan Militer Asing: AS Pimpin dengan 750, Inggris Ikuti dengan 145 di Seluruh Dunia
Hal itu disampaikan dalam rangkaian The World Conference on Constitutional Justice (WCCJ) ini yang diadakan di Bali pada 4-7Oktober 2022.
Dari 119 negara anggota, 78 hadir di Bali dan sisanya secara online. Kongres itu dibuka Presiden Joko Widodo pada 5 Oktober 2022.
Terhadap materi yang disampaikan Ketua MK Turki tersebut, Anggota Komisi III DPR Abu Bakar Al Habsyi yang hadir mempertanyakan mengenai batas kewenangan MK di Turki dan Latvia.
Menanggapi hal tersebut, Zühtü menyampaikan bahwa MK Turki pernah memeriksa dan mengadili terkait konstitusionalitas amendemen konstitusi.
Putusan MK Turki tidak menerima permohonan tersebut.
"Kami (MK Turki) menganulirnya dan ini memunculkan banyak diskusi yang rumit di Turki tentang apakah MK memiliki kewenangan tersebut," ujar Zühtü dalam sesi yang dimoderatori oleh Ketua MK Mongolia Kairat Mami tersebut.
Zühtü melanjutkan dalam menjalankan judicial activism, MK dihadapkan pada pilihan untuk tetap menerapkannya atau harus menahan diri.
Atas hal tersebut, ia menyebut mahkamah konstitusi harus bersifat netral.
"MK harus berada di tengah. MK harus melindungi konstitusi dari kewenangan apapun baik dari legislatif dan eksekutif," ujar Zühtüz
Sementara itu, Presiden MK Latvia Aldis Lavinś menyebut MK Latvia memiliki kewenangan untuk menilai apakah negara sudah mematuhi kewajiban dan memenuhi tuntutan dari rakyat.
Untuk itu, ia menyebut MK Latvia mempertimbangkan konteks di Eropa karena situasi lebih mudah jika terdapat yurisprudensi untuk mencari keseimbangan yang tepat.
"Menurut hukum yang mengatur hukum acara MK, menyebutkan putusan kami mengikat dan bukan hanya bagian kooperatif, dan penafsiran kami mengikat bagi legislator," ucap Aldis.
Adapun Hakim Konstitusi MK Indonesia, Enny Nurbaningsih, mempertanyakan mengenai tantangan yang dihadapi MK Turki dan MK Latvia serta mengenai sifat putusan erga omnes.
Terkait pertanyaan tersebut, dalam permohonan constitutional complaint, MK Turki mempertimbangkan aspek objektif dan subjektif suatu permohonan.
"Namun kami lebih melihat dari pendekatan objektif, yakni Putusan MK harus ditaati oleh seluruh warga negara. Tidak perlu mengajukan permohonan perorangan jika ada pelanggaran terhadap putusan MK dan sangat penting untuk menjalankan supremasi konstitusi. Kami sampai pada suatu kesimpulan entah keadaan itu melanggar konstitusi itu atau tidak, jika MK memutus melanggar konstitusi semua harus menaati," ujar Zühtü.
Selain itu, Zühtü mengingatkan jika adanya keinginan untuk mengamendemen, maka hal yang harus diingat amendemen konstitusi diperlukan mengingat dunia berubah dan teks konstitusi bersifat statis.
"Kita perlu mengubah naskahnya, tapi untuk memastikan ada tidak perlu sampai melebihi kewenangan MK. Jika harus menambahkan kewenangan, maka kita harus mengamendemen konstitusi," ucap Zühtü. [rin]