WahanaNews.co | Hubungan yang terus memburuk antara China dan Amerika di Laut China Selatan bisa mengancam sengketa bersenjata atau perang.
Sikap Amerika yang keras menentang klaim China atasu hampir 90 persen wilayah kaya sumber daya alam ini membuat Beijing sangat membenci Washington.
Baca Juga:
China: Wahai AS, Jangan Campuri Hak Kami soal Perang Rusia-Ukraina!
Bahkan Amerika sudah terang-terangan mendukung Taiwan bila diinvasi China.
Posisi Indonesia sebagai pemimpin Asia Tenggara dianggap sangat strategis bagi Amerika dalam menghadapi China.
Dan, posisi itu juga membuat Indonesia sangat penting bagi Amerika bila perang benar-benar terjadi.
Baca Juga:
Tiongkok Incar Bangkai Pesawat AS yang Jatuh di Laut China Selatan
Ketika Presiden Joe Biden bertemu dengan Presiden Jokowi bulan lalu di Glasglow, ia menyanjung kepemimpinan "esensial" Indonesia di Indo-Pasifik dan "komitmen kuat" Indonesia atas nilai demokrasi.
Namun kenyataannya keterlibatan Amerika Serikat (AS) dengan Indonesia lebih dari kata-kata itu.
Artikel yang diterbitkan di New York Times dan disadur oleh Economic Times menyebut posisi Indonesia jauh lebih penting sebagai penyeimbang penting dalam kontes geopolitik antara China dan AS.
Karena Indonesia merupakan pemimpin kekuatan Asia Tenggara, tidak heran jika posisi Indonesia diperhitungkan.
Administrasi Biden telah menghabiskan banyak waktu tahun pertama di kantornya mencari dukungan antara sekutu dan mitra yang merasakan kekhawatiran Washington atas Beijing tapi tidak mengalami kemajuan karena 4 tahun kepemimpinan Donald Trump.
Periode kepastian itu memang penting, tapi jika tujuan asli kompetisi dengan China adalah untuk memastikan "Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka", daripada mengejar kompetisi negara-negara adidaya untuk kepentingannya, AS tidak bisa hanya bergantung pada sedikit temannya yang membagikan pandangan dunia seperti mereka.
Washington perlu bergerak kepada negara tidak memihak yang terkadang suka bertengkar dengan kekuatan berkembang seperti Indonesia, dan membantu Indonesia menjadi kurang bergantung dengan China.
Indonesia sudah tahu pentingnya menjaga otonomi negara dalam hubungan internasional, mengetahui jelas-jelas betapa merusaknya masuknya pasukan asing, dari kekuasaan kolonial sampai kudeta penuh kekerasan dan kekacauan yang didukung oleh AS di tahun 1950-an dan '60-an.
Indonesia mencapai kebijakan luar negeri "bebas aktif" setelah menyatakan kemerdekaan dari Belanda pada 1945.
Sampai saat ini Indonesia masih menolak menandatangani persekutuan dengan negara-negara lain, dan menjadi anggota penuh komitmen dari Gerakan Non-Blok dan bereaksi marah jika ada ancaman terhadap kedaulatannya.
Hubungan dengan Washington sendiri telah seperti jungkat-jungkit berpuluh-puluh tahun lamanya.
AS mengakhiri periode konfrontasi yang panjang dengan Soekarno, presiden pertama Indonesia, dengan mendukung kudeta Soeharto, yang diketahui semua orang menggulingkan Soekarno.
Namun pemerintah Indonesia mengecam Washington karena Indonesia merasa Presiden Bill Clinton telah menekan Indonesia untuk menerima hukuman talangan IMF di tahun 1998 dan kemudian memberikan referendum kemerdekaan ke Timor Leste.
Kini, Indonesia menjaga hubungan dekat dengan musuh AS, Rusia dan Iran, dan juga ada hubungan yang tumbuh dengan China.
Di bawah kepemimpinan Jokowi, China menjadi salah satu investor terbesar Indonesia, menghabiskan miliaran dolar untuk jalan raya baru, pembangkit listrik dan kereta cepat.
China juga menyediakan 80% vaksin Covid-19 Indonesia.
Sementara Indonesia bekerja sama dengan AS dalam bidang militer, kontraterorisme dan program pengembangan, Indonesia juga terang-terangan khawatir mengenai inisiatif keamanan AS di Indo-Pasifik, seperti kemitraan AUKUS yang bertujuan mempersenjatai negara tetangga Australia dengan kapal selam bertenaga nuklir.
Kini merupakan saat yang tepat bagi Washington dan sekutunya untuk merayu Indonesia, sebut New York Times.
Tujuannya seharusnya tidak menjauhkan Indonesia dari China tapi mendukung rencana Jokowi untuk perkembangan ekonomi dan sosial, yang ia jadikan untuk menjadi pondasi penerusnya sebelum ia turun tahun 2024, dan membantu Indonesia menjadi kutub kekuatan alternatif untuk menantang kebangkitan yang terjadi di Asia, yang mana hanya China sendiri yang menjadi kunci masa depan wilayah ini.
Sejauh ini, Washington telah menunjukkan ambisi terbatas untuk mendorong hubungan dengan Indonesia.
Meskipun peringatan atas pertumbuhan hubungan strategis Beijing dengan Jakarta, hubungan tersebut belum menangani kontra beban ekonomi yang signifikan.
Namun hubungan lebih dekat dengan China bukan berarti Jokowi memilih pihak dalam kompetisi negara adidaya.
Ia justru bekerja secara pragmatis, seperti disebut oleh New York Times: bersedia bekerja dengan siapa saja yang bisa membantunya bertemu tujuan utamanya, seperti mendorong ekonomi.
Kurt Campbell, yang memimpin kebijakan Indo-Pasifik di Gedung Putih, menyebut Indonesia merupakan negara paling penting bagi AS tapi paling sedikit dimengerti.
Sebagai negara berpenduduk terpadat keempat sedunia, negara dengan jumlah warga Muslim terbanyak di dunia dan negara kepulauan terbesar, mengumpulkan kepentingan di Indonesia biasanya memerlukan daftar superlatif.
Antara isu domestik dan daftar panjang kebijakan luar negeri yang menantang, tampaknya Indonesia gagal melaksanakan agendanya lagi, bahkan walaupun administrasi Biden mulai melangkah ke Asia Tenggara.
Panduan strategis keamanan nasional pegangan presiden yang dirilis Maret lalu menyebut Singapura dan Vietnam yang mendukung tekanan AS ke China, sebagai mitra penting di Asia Tenggara, tapi bukan Indonesia.
Ketika Wakil Presiden Kamala Harris dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin membuat perjalanan terpisah ke Asia Tenggara awal tahun ini, mereka melewatkan Indonesia. [dhn]