WahanaNews.co | Kejatuhan Ibu Kota Kabul dan Istana
KepresidenanAfghanistan ke tanganTaliban mencengangkan banyak pihak.
Pasalnya, perebutan
kekuasaan di Afghanistan terjadi setelahAmerika Serikat dan sekutunya
mulai menarik pasukan dari negara itu setelah dua dekade menginvasi.
Baca Juga:
Taliban: Tugas Wanita Itu Melahirkan, Bukan Jadi Menteri
Sejak itu, berbagai
tudingan, kritik, hingga kecaman menghujani pemerintahan Presiden Joe Biden, yang dinilai melakukan kesalahan fatal dengan tetap
menarik pasukan Negeri Paman Sam dari
Afghanistan.
Sejak tentara AS dan
NATO mulai pulang secara bertahap pada Mei lalu, Taliban kembali bangkit
menyerang pasukan pemerintah Afghanistan dan merebut kota-kota utama di negara
tersebut.
Taliban bahkan berhasil
merebut belasan ibu kota provinsi di Afghanistan dalam hitungan hari, hingga
akhirnya menduduki Ibu Kota Kabul pada Minggu (15/8/2021).
Baca Juga:
Taliban Izinkan Perempuan Afghanistan Kuliah, Tapi…
Tentara Afghanistan di
sejumlah daerah mundur tanpa perlawanan ketika Taliban menyerang.
Sebagian pejabat
pemerintah Afghanistan, termasuk Presiden Ashraf Ghani, juga kabur ke luar
negeri tak lama usai Taliban menduduki Ibu Kota Kabul.
Militer AS pun terlihat
tak lagi agresif membantu pasukan Afghanistan sejak sebagian personelnya
meninggalkan negara itu.
Banyak pihak
mempertanyakan mengapa Amerika terkesan diam dan tak berani mengeluarkan
taringnya sekali lagi untuk mempertahankan Afghanistan dari cengkeraman Taliban?
Padahal, salah satu
tujuan perang berkepanjangan AS di Afghanistan selama ini adalah untuk
menggulingkan rezim Taliban agar tak berkuasa lagi di negara itu.
Mantan Duta Besar AS
untuK Afghanistan 2014-2016, P Michael McKinley, mengatakan, tragedi yang terjadi di Afghanistan merupakan
kesalahan yang tidak dapat ditumpukan pada satu pintu saja.
"Tenggat waktu yang
terlalu singkat Biden terkait penarikan pasukan AS dari Afghanistan di tengah
pertempuran yang kembali bergolak (dengan Taliban) adalah sebuah kesalahan.
Tetapi situasi di lapangan adalah hasil dari dua dekade salah perhitungan dan
kebijakan gagal yang diterapkan tiga pemerintahan AS sebelumnya," kata
McKinley, dalam artikelnya berjudul We All Lost Afghanistan yang dirilis Foreign Affairs pada 15 Agustus lalu.
McKinley mengatakan, "kemenangan Taliban" saat ini juga bentuk
kegagalan para pemimpin Afghanistan memerintah dan memperjuangkan masyarakat
dan negara mereka.
Selama ini, AS di depan
publik selalu berbual dengan memuji-muji pasukan Afghanistan yang mereka latih
selama ini sebagai "kekuatan multi-etnis yang sangat profesional, yang
dengan cepat menjadi pilar keamanan negara."
AS pun sering kali
memperhitungkan kapabilitas pasukan Afghanistan secara berlebihan.
Dalam laporan Pentagon
pada 2016 lalu, AS juga menganggap tentara Afghanistan terbaik di kawasan.
Namun, kenyataan di
lapangan disebut jauh berbeda.
Dalam memo internal
pemerintahan AS yang didapat The
Washington Post dalam laporan berjudul Unguarderd
Nation pada 2019, para pejabat, militer AS, NATO, hingga Afghanistan
sendiri mengaku khawatir lantaran menemukan banyak dari pasukan Afghanistan
yang masih buta huruf dan tidak terlatih.
Beberapa pihak pun
menilai AS selama ini hanya membuang waktu dan uang di Afghanistan.
Pasalnya, pasukan
Afghanistan merupakan salah satu angkatan bersenjata yang sangat tidak
kompeten, dan korup.
Banyak pula di antara
mereka yang berkhianat.
Mereka menggambarkan
pasukan keamanan Afghanistan sebagai tidak kompeten, tidak termotivasi, kurang
terlatih, korup, dan penuh dengan pembelot hingga penyusup.
Selain itu, kepemimpinan
dalam politik pemerintah Afghanistan tidak pernah sepenuhnya bersatu tentang
cara terbaik memerangi Taliban.
Ketegangan antar-suku
juga kuat terasa dalam politik Taliban.
Di sisi lain, Taliban
terbukti tangguh dan kompak tidak hanya sebagai organisasi militer, tetapi juga
sebagai gerakan politik.
Karena itu, sejak 2001,
Taliban terus menikmati dukungan rakyat Afghanistan di beberapa wilayah.
Selama menjabat sebagai Dubes di Afghanistan, McKinley pun menyadari betapa
beratnya tantangan terhadap strategi AS di negara itu dengan
kenyataan-kenyataan tersebut.
Meski sebagian besar
tujuan AS di Afghanistan tercapai dalam menumpas Al Qaeda
dan mengurangi ancaman terorisme terhadap Negeri
Paman Sam, McKinley menganggap negaranya gagal memberdayakan para pemimpin
Afghanistan supaya bisa berdiri di kaki sendiri dan meremehkan kelompok pemberontak
di negara itu, termasuk Taliban.
"Kami meremehkan
ketahanan Taliban dan kami salah membaca realitas geopolitik di kawasan ini.
Saatnya menerima kenyataan, keputusan menuda penarikan pasukan AS satu atau dua
tahun lagi tidak akan membuat perbedaan di Afghanistan," ucap McKinley.
Tanggapan senada juga
diutarakan Dosen Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku
Rezasyah.
Menurutnya, AS sudah
terjebak "dalam lumpur 20 tahun penguasaan" atas Afghanistan sehingga
tanpa sadar berbuat banyak kesalahan.
Sebagai contoh, Rezasyah
menganggap pendekatan AS selama ini ke Afghanistan hanya sebatas materi, yakni menggelontorkan triliunan dolar, memberikan
senjata, menggaji pemerintah dan tentara, tanpa membangun integrasi sosial
dengan para elite negara itu.
"Hasilnya, guyuran
uang sekian puluh miliar dolar dari AS selama 20 tahun ternyata tidak berujung
memberdayakan masyarakat Afghanistan secara umum, tidak juga membantu membangun
infrastruktur dan teknologi negara itu, tapi malah memperkaya industri
militer," ucap Rezasyah kepada wartawan,
Senin (23/8/2021).
Rezasyah menuturkan, AS lupa bahwa dalam mengelola suatu wilayah perlu
integrasi antara ikan dengan air, dalam hal ini AS dan pemerintah Afghanistan
dan kelompok-kelompok yang masih terpecah di negara itu.
Selain itu, Rezasyah
juga melihat keengganan AS untuk bertindak membantu Afghanistan keluar lagi
dari cengkraman Taliban saat ini adalah karena kelelahan.
"AS pada satu titik
sudah merasa kalau ini diteruskan tidak akan membawanya kemana-mana. Saya pikir
AS sudah lelah," kata Rezasyah.
Pernyataan senada juga
terlontar dari mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, yang pernah ikut serta dalam proses
perdamaian Afghanistan.
Dalam wawancara dengan media pada Minggu (22/8/2021), pria yang kerap disapa JK itu menganggap invasi
ke Afghanistan merupakan perang terpanjang yang dilakukan AS.
"AS sendiri sudah
sangat letih berada di Afghanistan karena sudah berjalan 20 tahun berperang.
Ini perang terpanjang AS dan tidak hasilkan sesuatu yang positif bagi
mereka," ucap JK.
Dalam pernyataan di
Gedung Putih, Presiden Biden pun tetap membela keputusannya menarik pasukan AS
dari Afghanistan.
Ia bahkan menuntut
pemerintah Afghanistan berjuang untuk bangsa mereka sendiri.
"Kami telah
menghabiskan lebih dari satu triliun dolar selama dua puluh tahun. Kami melatih
dan melengkapi peralatan modern lebih dari 300 ribu pasukan," kata Biden,
seperti dikutip CNBC.
Biden kemudian berkata,
"Para pemimpin Afghanistan harus bersatu. Mereka harus berjuang untuk diri
mereka sendiri, berjuang untuk bangsa mereka." [dhn]