WahanaNews.co | Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Antony Blinken menemui Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta, hari Senin (13/12) kemarin. Media yang dikelola Partai Komunis China, Global Times, meledek kunjungan diplomat top Amerika tersebut.
Indonesia menjadi negara pertama yang dikunjungi Blinken dalam tur Asia Tenggaranya. Dia meyakinkan bahwa komitmen AS "sangat nyata" kepada Indonesia.
Baca Juga:
Donald Trump Mulai Umumkan Nominasi Anggota Kabinet, Ini Daftarnya
Saat menemui Jokowi, Blinken menekankan pentingnya kemitraan strategis antara kedua negara. Demikian disampaikan Departemen Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Reuters, Selasa (14/12/2021).
"Blinken memuji kepemimpinan Indonesia di Indo-Pasifik yang menyebut negara ini demokrasi terbesar ketiga di dunia dan pendukung kuat tatanan internasional berbasis aturan," lanjut pernyataan Departemen Luar Negeri AS.
Setelah pertemuan Blinken dengan Jokowi, Menlu Indonesia Retno LP Marsudi mengatakan Washington tampaknya tertarik untuk menjalin kemitraan dengan Jakarta, termasuk di bidang infrastruktur.
Baca Juga:
Prabowo Dukung Solusi Dua Negara untuk Selesaikan Konflik Palestina
Pagi ini (14/12/2021), Menlu Blinken menyampaikan pidato di Universitas Indonesia tentang pendekatan pemerintahan Joe Biden terhadap Indo-Pasifik.
Blinken juga berkunjung Malaysia dan Thailand selama tur Asia Tenggaranya, yang telah menyaksikan persaingan yang semakin ketat untuk berebut pengaruh antara Washington dan Beijing.
Daniel Kritenbrink, asisten menteri luar negeri AS untuk urusan Asia Timur dan Pasifik, mengatakan kepada wartawan sebelum perjalanan Blinken bahwa AS berencana untuk membawa keterlibatan dengan 10 anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Presiden Joe Biden berpartisipasi dalam KTT virtual AS-ASEAN pada Oktober lalu, berjanji untuk memperdalam kerja sama dengan blok tersebut. AS sebelumnya telah menyuarakan dukungan untuk beberapa negara ASEAN dalam ketegangan dengan China di Laut China Selatan, rute perdagangan utama yang diklaim Beijing sebagai miliknya.
Sementara itu, Global Times dalam sebuah opini mengatakan kunjungan Blinken ke Asia Tenggara "gagal mengubah keseimbangan di kawasan ini".
“Negara-negara ini pandai menjaga keseimbangan antara China dan AS, dalam arti tidak sepenuhnya bergantung pada China atau AS, yang merupakan karakteristik kebijakan luar negeri di banyak negara di kawasan ini,” kata Gu Xiaosong, pakar di ASEAN Research Institute of Hainan Tropical Ocean University, kepada Global Times.
Pada hari Minggu, AS, Australia dan Jepang juga mengumumkan upaya untuk mendanai kabel bawah laut untuk meningkatkan akses internet di tiga negara Pasifik kecil Nauru, Kiribati dan Negara Federasi Mikronesia.
Kunjungan Blinken ke Asia Tenggara terjadi kurang dari seminggu setelah AS, Kanada, dan Australia mengumumkan boikot diplomatik terhadap Olimpiade Musim Dingin 2022 di Beijing, dengan alasan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah China, termasuk perlakuan terhadap Muslim Uighur di wilayah Xinjiang.
AS menuduh China melakukan genosida terhadap warga Uighur–tuduhan yang dibantah oleh pemerintah China. China menolak boikot diplomatik sebagai "manipulasi politik" yang bertentangan dengan semangat Olimpiade.
China menolak awal tahun ini atas upaya bersama AS dan Inggris untuk memasok Australia dengan kapal selam bertenaga nuklir.
Beijing juga menyuarakan keprihatinan tentang upaya Biden untuk memperkuat aliansi Quad dengan India, Jepang dan Australia setelah Gedung Putih menjadi tuan rumah pertemuan puncak pada bulan September.
Di tengah banyak titik ketegangan ini, Biden bulan lalu mengadakan pertemuan virtual dengan Presiden China Xi Jinping, menyerukan untuk mengelola ketidaksepakatan sambil bekerja sama untuk kepentingan bersama dengan Beijing.
Menjelang pertemuan, Xi memperingatkan bahwa ketegangan era Perang Dingin tidak boleh dibawa di Asia-Pasifik.
“Kawasan Asia-Pasifik tidak dapat dan tidak boleh terulang kembali ke dalam konfrontasi dan perpecahan era Perang Dingin,” katanya. [rin]