MEDIA dan pengamat di Timur Tengah saat ini sering menyebut adanya tren menuju Timur Tengah baru.
Istilah ”Timur Tengah baru” pertama kali diembuskan oleh mantan Presiden Israel, Shimon Peres, pasca-tercapainya Kesepakatan Oslo antara Palestina dan Israel pada tahun 1993.
Baca Juga:
Ketegangan Meningkat, 2 Tentara Iran Gugur dalam Serangan Israel
Peres saat itu menulis buku dengan judul The New Middle East (Timur Tengah Baru).
Ia berharap dan sekaligus memprediksi akan terciptanya paradigma baru di Timur Tengah, yakni kerja sama Arab-Israel, menggantikan paradigma konflik Arab-Israel, pasca-Kesepakatan Oslo.
Peres menyebut paradigma baru itu dengan istilah ”Timur Tengah Baru”.
Baca Juga:
Usai Serangan Bertubi-tubi Hizbullah, Israel Bombardir Lebanon Selatan
Peres memimpikan Timur Tengah pasca-Kesepakatan Oslo seperti Eropa pasca-Perang Dunia II yang melahirkan paradigma kerja sama Eropa dalam bentuk organisasi Uni Eropa.
Tentu impian Peres tersebut belum menjadi kenyataan.
Sebaliknya Timur Tengah terus dilanda konflik, tidak hanya antara Arab dan Israel, tetapi juga antara sesama negara Arab.
Dua pengamat politik Mesir, Abdel Moneim Said dan Mohammed Kamal, menulis dua artikel yang berbeda pada harian terkemuka Mesir, Al Ahram, edisi hari Rabu (1/12/2021), tentang tren menuju Timur Tengah baru saat ini.
Kedua pengamat itu melihat tren rekonsiliasi atau minimal komunikasi antara negara-negara utama di Timur Tengah saat ini sebagai wajah Timur Tengah baru.
Ada tiga faktor yang berandil besar atas lahirnya wajah baru Timur Tengah.
Pertama, pandemi Covid-19 yang melanda Timur Tengah sejak Februari 2020.
Kedua, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di Al Ula, Arab Saudi, pada Januari 2021 yang membuahkan rekonsiliasi antara Qatar dan kuartet Arab (Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab/UEA, dan Mesir).
Ketiga, tampilnya Joe Biden sebagai penguasa baru di Gedung Putih pada Januari 2021.
Wajah baru Timur Tengah itu mencerminkan semakin pupusnya faktor ideologi dan memperlihatkan semakin kuatnya arah pragmatisme negara-negara di Timur Tengah dalam menerapkan kebijakan hubungan luar negerinya.
Di antara wajah baru Timur Tengah yang menonjol adalah kunjungan Putra Mahkota Abu Dhabi yang juga penguasa de facto Uni Emirat Arab (UEA), Mohammed bin Zayed (MBZ) ke Ankara, Turki, dan bertemu dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan pada 24 November lalu.
Kunjungan MBZ ke Turki itu merupakan yang pertama kali dalam 10 tahun terakhir ini.
Sebelumnya, Turki dan UEA berada dalam poros yang berseberangan dalam peta geopolitik di Timur Tengah.
Turki adalah pendukung gerakan musim semi Arab yang menuntut demokratisasi di dunia Arab.
Sebaliknya UEA menolak gerakan musim semi Arab dan memimpin gerakan untuk menggagalkan demokratisasi di dunia Arab.
Turki dan UEA pun terlibat perang proksi di Libya dan di Laut Tengah bagian timur.
Bahkan, Turki juga menuduh UEA turut berada di balik upaya kudeta gagal di Turki pada tahun 2016.
Turki dan UEA berbeda pendapat pula di Suriah.
Turki sampai saat ini masih mendukung kubu oposisi Suriah melawan rezim Presiden Bashar al-Assad.
Sebaliknya UEA telah membuka kedutaannya di Damaskus dan melakukan normalisasi hubungan dengan Suriah.
Menteri Luar Negeri UEA, Sheikh Abdullah bin Zayed, mengunjungi Damaskus dan bertemu Presiden Bashar al-Assad pada 9 November lalu.
Akan tetapi, kini Turki-UEA seperti melupakan perbedaan sikap dan pendapat atas sejumlah isu tersebut.
Kedua negara itu memilih berkolaborasi.
UEA bahkan mengumumkan pembentukan kotak investasi dengan modal 10 miliar dollar AS untuk mendukung penanaman investasi di Turki.
Turki-UEA pun terakhir ini juga menemukan banyak titik temu kepentingan dalam sejumlah isu, seperti sama-sama mendukung pelaksanaan pemilu parlemen dan presiden di Libya, serta sama-sama mendukung proses peralihan kekuasan dari militer ke sipil di Sudan.
Pandemi Covid-19, yang menghantam perekonomian Turki dan UEA, semakin menyadarkan kedua negara tersebut tentang pentingnya untuk semakin memperkuat kerja sama ekonomi dalam upaya menyelamatkan ekonomi kedua negara itu.
Turki juga terus melakukan proses normalisasi hubungan dengan Arab Saudi dan Mesir.
Menlu Turki, Mevlut Cavusoglu, telah mengunjungi Arab Saudi pada 10 dan 11 Mei 2021 untuk koordinasi membangun sikap bersama atas isu kekerasan Israel-Palestina yang menyebabkan meletusnya perang Gaza antara Hamas dan Israel saat itu.
Turki dan Arab Saudi sama-sama mendukung gencatan senjata di Jalur Gaza.
Turki-Arab Saudi kini juga seperti melupakan perbedaan pendapat mereka sebelum ini.
Kedua negara tersebut selama ini berbeda pendapat soal isu musim semi Arab.
Turki mendukung musim semi Arab. Sebaliknya Arab Saudi menentangnya.
Puncak ketegangan hubungan Turki-Arab Saudi terjadi saat aparat keamanan Arab Saudi terlibat dalam kasus pembunuhan wartawan senior asal Arab Saudi, Jamal Khashoggi, di Istanbul pada 2 Oktober 2018.
Selain itu, wajah baru Timur Tengah adalah terbangunnya kerja sama Mesir, Jordania, Suriah, dan Lebanon.
Kerja sama itu dalam bentuk Mesir dan Jordania akan membangun pipa gas dan listrik melalui wilayah Suriah menuju Lebanon.
Suriah akan mendapat bagian dari gas dan listrik itu, dengan imbalan pipa gas Mesir dan listrik Jordania melalui wilayah Suriah menuju Lebanon.
Suriah sejak revolusi rakyat tahun 2011 sering mengalami krisis listrik.
Maka kesepakatan Mesir, Jordania, Suriah, dan Lebanon tentang aliran pipa gas dan listrik dari Mesir dan Jordania melalui wilayah Suriah menuju Lebanon bisa menyelamatkan Suriah dari krisis gas dan listrik.
Tak kalah menarik pula adalah digelarnya beberapa kali dialog Iran-Arab Saudi di Baghdad terakhir ini.
Iran-Arab Saudi dikenal sebagai dua negara musuh bebuyutan di Timur Tengah.
Kedua negara tersebut terlibat perang proksi di beberapa negara, seperti di Lebanon, Suriah, dan Irak.
Bahkan di Yaman, Arab Saudi terlibat perang langsung dengan kelompok Houthi yang didukung Iran.
Pertarungan Iran-Arab Saudi selama ini menjadi faktor utama ketegangan di berbagai lini di kawasan Timur Tengah.
Karena itu, kesediaan Iran dan Arab Saudi membuka dialog di Baghdad merupakan kemajuan besar, meskipun sampai saat ini belum mencapai kesepakatan membuka hubungan diplomatik kedua negara.
Hubungan diplomatik Iran-Arab Saudi putus sejak tahun 2016, menyusul insiden serangan massa Iran ke kantor Kedutaan Arab Saudi di Teheran dan konsulat Arab Saudi di kota Mashhad.
Aksi massa Iran saat itu sebagai protes atas tewasnya tokoh Syiah Arab Saudi, Sheikh Nimr al-Nimr.
Kini, Iran dan Arab Saudi mencoba melakukan normalisasi hubungan melalui berbagai dialog di Baghdad sejak bulan April lalu.
Jika dialog tersebut berhasil membuahkan kesepakatan normalisasi hubungan, hal ini akan mengubah wajah Timur Tengah secara signifikan.
Ini yang banyak ditunggu publik di kawasan Timur Tengah saat ini.
Turut berandil pula atas lahirnya wajah Timur Tengah baru adalah tercapainya Kesepakatan Abraham (Abraham Accord) antara Israel dan sejumlah negara Arab pada tahun 2020.
Yakni, kesepakatan pembukaan hubungan resmi UEA-Israel pada Agustus tahun itu, berlanjut dengan Bahrain-Israel pada September, lalu Sudan-Israel pada Oktober, dan Maroko-Israel pada Desember.
Israel saat ini masih terus berusaha memperluas Kesepakatan Abraham dengan negara-negara lain.
Kini peristiwa lain yang ditunggu adalah hasil perundingan nuklir Iran yang dimulai lagi di Vienna pada hari Senin lalu.
Jika perundingan nuklir Iran itu berhasil mencapai kesepakatan baru tentang isu nuklir Iran, peristiwa tersebut akan semakin memperkuat lahirnya wajah baru Timur Tengah. (Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Menuju Timur Tengah Baru”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/12/03/menuju-timur-tengah-baru.