WahanaNews.co | Hari-hari terakhir jelang pasukan Amerika Serikat (AS) berikut warganya angkat kaki total dari Afghanistan, terjadi sinyalemen yang tak biasa.
Bagaimana tidak?
Baca Juga:
Taliban: Tugas Wanita Itu Melahirkan, Bukan Jadi Menteri
Laporan di lapangan menunjukkan AS berkolaborasi dengan Taliban, dan hal ini membuat banyak pihak terkejut.
Termasuk di dalam negara AS sendiri.
Setelah hampir 20 tahun menjadi musuh bebuyutan, ihwal apa yang membuat AS dan Taliban kini saring bergayut?
Baca Juga:
Taliban Izinkan Perempuan Afghanistan Kuliah, Tapi…
Pascaserangan ISIS-K pada Kamis (26/8/2021) pekan lalu, Taliban dilaporkan ikut mengawal properti dan evakuasi warga AS dan afiliasinya di Afghanistan, khususnya di Kota Kabul.
Serangan teroris itu menyebabkan belasan tentara AS dan sejumlah warga tewas.
Hal ini lantas membuat Presiden AS, Joe Biden, ingin segera menyelesaikan evakuasi dari negara itu per 31 Agustus 2021, meskipun sebenarnya terbuka ruang dilakukan perpanjangan.
Ancaman ISIS-K dan pentingnya keamanan bagi warga dan kepentingan AS membuat Biden mengambil langkah mengejutkan.
Pada beberapa hari terakhir, evakuasi tentara dan warga AS serta pengecekan keamanan di Kabul dilakukan oleh pasukan Taliban, lawan mereka selama ini.
Sontak realita tersebut menuai pertanyaan, bahkan kecaman.
Kritik meluas diarahkan terhadap Joe Biden.
Salah satunya dari mantan Presiden, Donald Trump, yang merupakan eks rival Biden di Pemilu lalu.
Trump, yang sebenarnya mengegolkan perjanjian damai dengan Taliban di Doha, Qatar, justru kini menganggap Taliban adalah pihak yang sangat tak bisa dipercaya.
Dia, karena itu, tak habis pikir, mengapa Biden sampai menjadikan Taliban bak mitra mereka di Afghanistan, sebagaimana dilansir Washington Post.
Para politikus Republikan kini juga ramai mengkritik langkah Biden.
Pun sejumlah politikus Demokrat negeri Abang Sam, ada yang merasa tak puas.
Sementara, Joe Biden menekankan bahwa alasan dia melakukannya bukan soal percaya atau tidak terhadap Taliban.
Namun agar bisa mengevakuasi dan mengeluarkan warga AS dan sekutunya selamat dari Afghanistan.
Hal ini harus dilakukan, karena penguasaan Taliban atas Afghanistan memang jelas meleset dari prediksi.
Secara cepat, Taliban berkuasa di sana, dan karena itu, mau tidak mau, AS harus berkomunikasi dengan kekuasaan yang ada.
"Mereka hanya menjalankan kepentingan mereka, dan salah satunya adalah memastikan bahwa kita keluar dari sana sepenuhnya, dan tepat waktu, membawa sebanyak orang yang kita mau," kata Presiden AS, Joe Biden, mengenai tudingan kerjasama dengan Taliban itu.
Tak lama setelah itu, otoritas merilis pernyataan bahwa pemerintahan Joe Biden tak punya maksud untuk bekerjasama dengan Taliban pada awalnya dalam evakuasi ini.
Yang ada disebutkan bahwa mereka awalnya merancang evakuasi akan dibantu oleh pasukan Afghanistan selama masa transisi.
Namun, apa daya, Taliban begitu cepat menggulung pemerintahan Ashraf Ghani, hingga membuat tentara Afghanistan kocar-kacir.
Mau tak mau, karena itu, pihak AS harus berkomunikasi dengan Taliban untuk membantu evakuasi, khususnya menjelang hari-hari terakhir mereka bercokol.
Ditambah, ada serangan ISIS-K yang berbasis di Afghanistan, dan makan banyak korban jiwa.
Komandan pasukan AS di Afghanistan, Jenderal Kenneth F McKenzie Jr, kemudian bertemu dengan elite Taliban, dan meminta tidak ada intervensi dalam proses evakuasi.
Namun, disebutkan, pimpinan Taliban yang menawarkan bantuan sekadar memastikan bahwa proses berjalan dan mereka bisa keluar semuanya.
Setelah serangan bom bunuh diri ISIS-K terjadi, McKenzie menegaskan, "Kita akan melakukan segala hal untuk memastikan tidak akan terjadi serangan seperti itu lagi, termasuk kalau harus menjangkau Taliban."
Sementara Taliban, dalam hal ini, belum mau mengaku secara terang-terangan kerjasama membantu mengamankan pasukan dan kepentingan AS.
Walau berdasarkan laporan di Kabul, warga AS membenarkan bahwa pasukan Taliban justru membantu mengamankan pengecekan, termasuk mengidentifikasi paspor mereka, saat masuk ke pos bandara.
Citra Neo-Taliban
Meski masih diliputi pro dan kontra serta banjir kritik, relasi antara otoritas AS dan Taliban belakangan tersebut sebenarnya sudah bisa terbaca.
AS punya alasan mengamankan kepentingan, maka Taliban juga melakukannya bukan tanpa tujuan.
Pakar Islam dan Timur Tengah dan Wakil Direktur Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia, Zacky Khairul Umam, mengatakan, langkah Taliban membantu AS di Afghanistan justru memang dijadikan peluang untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka kini lebih terbuka.
Pun bisa diajak bicara.
Hal tersebut bisa diartikan sebagai pencitraan kepada dunia luar.
"Evakuasi jelas dalam rangka Taliban dapat citra internasional yang baik. Juru bicara beberapa kali ingin menjelaskan bahwa orang Afghanistan juga bahkan bisa keluar negeri dan enggak usah terburu-buru. Pembacaan murni, ya untuk pencitraan Taliban. Kami (Taliban) bentuk keemiratan yang baru, dan akan bisa menjadi pemerintahan yang baik dalam hal evakuasi. Logikanya seperti itu," kata Zacky kepada wartawan, lewat sambungan telepon pada Senin (30/8/2021) malam.
Dia membenarkan bahwa adanya serangan ISIS-K di Kabul menjadi salah satu faktor penting keduanya bisa berkolaborasi.
Menurut dia, serangan ISIS-K ini jelas memang bagai simbol ancaman sekaligus bagi AS dan Taliban.
"ISIS-K punya target dan mengakui mengebom dan dalam pengertian di sini buat peringatan buat dua-duanya, we"are still exist. Underground tetap exist, tetap simbol bagi AS, ibarat gagal dong AS mengamankan. Kedua, untuk Taliban, yang dianggap bagai selingkuh sama AS, padahal seharusnya dalam gerakan anti terhadap AS dalam konteks GWoT (Global War on Terror)," lanjut kandidat PhD dari Freie Universität Berlin, Jerman, ini.
Dia menjelaskan, memang dalam hal teologis dan ideologis, jelas Taliban dan ISIS adalah dua entitas yang berbeda.
Keduanya, sejak awal, tak pernah dan tak akan sejalan, karena fundamental yang sudah berbeda.
ISIS merupakan ekstrem yang bersumber Salafi dan Wahabi dari Arab Saudi.
Sementara Taliban dari gerakan ekstrem radikal yang bersumber dari tradisi Sunni Hanafi dari Pakistan.
Hal itu yang membedakan secara teologis.
Sementara yang pernah sedikit menjadi titik temu hanyalah perihal anti-Amerika dan GWoT.
Meski hal tersebut kini sudah berubah semenjak Taliban mulai mengubah pendekatan untuk bisa mencapai tujuannya yang cenderung nasionalistik.
Zacky juga memaparkan perlunya Taliban mencitrakan diri sebagai Neo-Taliban yang inklusif.
Kepentingannya kini adalah untuk menciptakan iklim politik, keamanan, dan ekonomi, agar benar-benar bisa mengatur negaranya.
Oleh karena itu, mau tak mau, suka tak suka, harus bisa berelasi dengan pihak lain, termasuk dengan AS sendiri.
Hal tersebut harus dilakukan demi menata Afghanistan yang kini tak bisa hidup tanpa bantuan asing itu.
"Taliban memasuki masa memerintah, harus menunjukkan intelektualitas membentuk pemerintahan yang inklusif, bukan hanya menciptakan center of excellence. Dari pengalaman selama 20 tahun ini banyak tokoh eksil mereka sudah banyak belajar. Para generasi muda mereka juga, yang masa GWoT dulu masih anak-anak, tentu jadi orang yang sedikit banyak melihat masa kini," katanya. [dhn]