WahanaNews.co | Arab Saudi sekarang punya mimpi baru yang terkesan berani untuk
membuat kota barunya, yakni The Line, membuat jalan sepanjang 170 kilometer tanpa mobil di padang
pasir.
Namun, pakar desain perkotaan menyebut
bahwa rencana ini mustahil dilakukan.
Baca Juga:
"Mengerikan. Mimpi buruk," kata Emily
Talen, ilmuwan desain perkotaan di The University of Chicago, AS.
Terlepas dari pengumuman yang
kontroversial, teknologi kota semacam ini belum pernah ada di dunia.
Desain The Line
Rencana pembangunan megaproyek yang
disebut The Line ini pertama kali
diumumkan oleh Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, pada 10 Januari 2021, dalam situs web dan rilis resmi dari
kerajaan.
Isinya menyerukan pembangunan jalur
sejauh 170 kilometer di Kota Neom, sebuah kota di barat laut
Arab Saudi.
Pemerintah Saudi menyebut daerah itu
belum berkembang, tapi telah menjadi rumah bagi 20.000 kelompok suku Huwaitat
yang memprotes penggusuran akibat dampak proyek kota baru tersebut.
Nantinya jalur ini akan dibangun dalam
tiga lapisan.
Lapisan pertama ada di permukaan, berupa taman dan ruang terbuka bagi pejalan kaki.
Lapisan kedua ada di bawah permukaan, yang diisi dengan berbagai layanan publik.
Lapisan ketiga disebut Sniper Layer, berisi teknologi buatan
(AI), termasuk moda transportasi berkecapatan tinggi.
Jalur ini juga mengusung tema ramah
lingkungan, tanpa mobil, atau dengan kata lain non-karbon.
Dalam pengumuman itu juga disebutkan
bahwa semua layanan publik bisa diakses hanya dalam waktu 5 menit.
Sementara perjalanan antartitik
transit berkecepatan tinggi hanya akan memakan waktu tidak lebih dari 20 menit.
Dalam situs NEOM dikatakan bahwa nantinya proyek tersebut bakal menyambungkan
empat ekologi utama Ridge of Reef
yang terbentang dari Laut Merah di sebelah barat ke Pegunungan Tabuk di ujung
Timur, menghubungkan laut dan pesisir, gurun pasir, pegunungan, dan daratan
tinggi.
Sayangnya, beberapa ahli skeptis akan
rencana ini.
Kritik disampaikan oleh Elizabeth
Plater-Zyberk, seorang profesor arsitektur di University of Miami, AS.
Ia mengatakan, untuk
mendukung tingkat transportasi umum, jalur tersebut akan membutuhkan titik penghubung
lebih besar yang mampu menampung lebih banyak orang.
"Jika hanya ada beberapa ratus
orang di setiap perhentian, kamu tidak akan mendapatkan keuntungan dari
investasi infrastruktur itu," katanya.
Selain itu, masih belum jelas apakah
ada teknologi sistem transit The Line
yang mampu melaju dengan sangat cepat.
Mengingat melakukan perjalanan sejauh
170 kilometer dengan waktu tempuh 20 menit dibutuhkan kecepatan transportasi
512 kilometer per jam.
Kecepatan ini melampaui kemampuan
kereta tercepat yang ada saat ini.
Kereta Eurostar di Eropa, misalnya, dapat melaju dengan kecepatan sekitar
390 kilometer per jam, sementara kereta cepat di China punya kecepatan sekitar
380 kilometer per jam.
Pod Hyperloop, sebuah mode
transportasi yang melaju di bawah tanah punya kecepatan diperkirakan mencapai
463 kilometer per jam tanpa penumpang. Tapi teknologi ini juga belum bisa
diterapkan.
Bagaimanapun, membangun kota di tengah
gurun pasir akan sangat sulit dilakukan. Jika Arab Saudi tetap ngotot ingin
melakukannya, maka semua ini akan menjadi tantangan yang sangat besar.
"Haruskah semua sumber daya ini
digunakan untuk membangun kota baru di tengah gurun?" kata Talen.
"Bagaimana itu masuk akal bila
kamu memiliki banyak masalah perkotaan di sekitar kamu yang perlu
diperbaiki?" imbuhnya.
Terlebih, banyak kota yang dibangun
hanya untuk melayani turis asing. Sedangkan penduduk aslinya bakal
terpinggirkan.
Hal ini sudah terjadi di Dubai, Uni
Emirat Arab, di mana pemerintah setempat hanya mementingkan konglomerat asing
yang ingin membeli rumah kedua.
Ini juga tidak menutup kemungkinan
akan terjadi di kota baru, The Line. [qnt]