WahanaNews.co | Krisis kemanusiaan di wilayah
Tigray, Ethiopia, dengan cepat memburuk apabila pasukan Eritrea tidak ditarik
mundur dari kawasan perbatasan tersebut.
Koordinator
Bantuan PBB, Mark Lowcock, mengatakan di hadapan Dewan Keamanan, bahwa
kekerasan seksual dan pemerkosaan dijadikan senjata di Tigray.
Baca Juga:
Alamak! Pilot Ethiopian Airlines Tertidur Saat Terbang
Tidak
sedikit perempuan yang melaporkan diri menjadi korban pemerkosaan massal selama
berhari-hari.
Lowcock
mengatakan, pihaknya mengumpulkan laporan dan aduan korban dari berbagai
wilayah di Tigray, kebanyakan dilakukan oleh pria berseragam tentara.
Dia
menambahkan, korban perempuan paling muda masih berusia delapan tahun.
Baca Juga:
Pria Ethiopia Berebut Daftar Jadi Tentara Bayaran Rusia
"Untuk
lebih jelas, konflik belum berakhir dan situasinya tidak membaik," kata dia, di
hadapan 15 anggota DK dalam sebuah pertemuan virtual tertutup.
Menurut
PBB, sebanyak 4,5 dari 6 juta warga Tigray membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Setidaknya, 91
persen populasi membutuhkan bantuan darurat bahan pangan dan obat-obatan.
Dia
mengatakan, pihaknya menerima aduan adanya kasus kelaparan baru awal
pekan ini, ketika empat orang dinyatakan meninggal dunia akibat malnutrisi.
Di
distrik Ofla yang berada di selatan ibu kota Tigray, Mekelle, sudah sebanyak
150 penduduk dilaporkan tewas akibat kelaparan.
"Ini
seharusnya menjadi bel alarm buat kita semua," tutur Lowcock.
"Laporan
ini menggambarkan apa yang akan terjadi jika kita berdiam diri. Kelaparan
sebagai senjata perang adalah pelanggaran HAM berat," imbuhnya.
Tidak Ada Penarikan Mundur Militer
Konflik
di Tigray berawal dari upaya pemerintah pusat mendongkel pemerintahan lokal.
Sejak
November silam, ribuan nyawa telah melayang, sementara angka pengungsi sudah
mencapai 1,7 juta orang pada Maret, kata Lowcock.
Ketika
pemerintah Eritrea menepis tuduhan keterlibatan militernya, Perdana Menteri
Ethiopia, Abiy Ahmed, mengindikasikan dirinya mengetahui adanya pasukan jiran di
kawasan perang.
Atas
tuntutan PBB dan Amerika Serikat, dia berjanji pasukan Eritrea akan hengkang
selambatnya bulan Maret.
Pada
Selasa (13/4/2021), Lowcock mendesak agar Eritrea menepati janjinya dan
menarik mundur pasukan dari Tigray.
"Sayangnya
saya harus katakan, PBB atau lembaga kemanusiaan lain tidak ada yang melihat
pemulangan pasukan Eritrea," kata dia.
"Tanpa
gencatan senjata, krisis kemanusiaan yang sudah parah ini hanya akan bertambah
buruk," imbuhnya.
"Saya
tegaskan lagi betapa pentingnya tentara Eritrea menghentikan kekejaman ini dan
hengkang dari Tigray. Mengumumkannya tidak sama dengan melakukannya," tandasnya.
Atas
tuduhan tersebut Menteri Informasi Eritrea, Yemane Gebremeskel, mengatakan
kekerasan seksual dan pemerkosaan "adalah sebuah kekejian di dalam
masyarakat Eritrea" dan harus dihukum seberat-beratnya jika terjadi. [qnt]