WahanaNews.co | Hingga 200 ribu
pengungsi diyakini akan menyeberang ke Sudan demi menghindari perang saudara
yang berkecamuk di kawasan Tigray.
PBB mengkhawatirkan bencana
kelaparan bagi sekitar dua juta penduduk di daerah konflik.
Baca Juga:
Alamak! Pilot Ethiopian Airlines Tertidur Saat Terbang
Pemerintah Sudan mengantisipasi lonjakan arus
pengungsi dari Ethiopia yang didera perang saudara.
Operasi militer yang digalang
pemerintah pusat Ethiopia terhadap kawasan Tigray di utara diprediksi bakal
memicu sekitar 200.000 warga sipil untuk meninggalkan kampung halamannya.
Hingga berita ini diturunkan,
sudah sekitar 6.000 penduduk Ethiopia yang mengungsi ke Sudan, termasuk korban
luka.
Baca Juga:
Pria Ethiopia Berebut Daftar Jadi Tentara Bayaran Rusia
Sejak operasi militer
dilancarkan, arus pengungsi dikabarkan semakin deras.
Di dalam Tigray, antrian pembeli
memenuhi toko-toko penjual kebutuhan pokok seperti roti.
PBB melaporkan rombongan truk
pengangkut bantuan kemanusiaan masih terdampar di pintu perbatasan, kata Sajjad
Mohammad Sajid, Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB di Ethiopia.
"Kami membutuhkan akses bantuan
kemanusiaan secepat mungkin," katanya kepada kantor berita AP.
"Bahan bakar dan bahan pangan
sangat dibutuhkan segera."
Menurutnya hingga dua juta
penduduk yang bertahan di Tigray akan menghadapi "masa yang sangat, sangat sulit,"
termasuk mereka yang mengungsi di negeri jiran.
Lintas komunikasi dari dan ke
Tigray saat ini dilaporkan lumpuh, sejak PM Abiy Ahmed memerintahkan operasi
militer sepekan lalu.
Dia bersikeras menuduh partai
politik lokal duluan yang mendalangi serangan terhadap pasukan pemerintah.
Akibatnya sekitar 900 petugas
bantuan kemanusiaan terjebak di kawasan konflik, tanpa bisa menghubungi dunia
luar.
"Sembilan badan PBB, termasuk 20
LSM, semua bergantung dari dua kantor" di Tigray untuk berkomunikasi, tutur
Sajjid.
Perang sulitkan penyaluran
bantuan Abiy yang di awal masa jabatannya mendapat hadiah Nobel Perdamaian
bersikeras tidak akan menerima negosiasi damai dengan pemerintah daerah Tigray
yang dianggapnya ilegal.
Front Pembebasan Rakyat Tigray
(TPLF) sebelumnya mengabaikan larangan pemerintah dengan menggelar pemilihan
umum regional, September silam.
Uni Afrika mendesak perdana
menteri meredakan eskalasi konflik yang mengancam stabilitas di kawasan
strategis, namun rawan konflik tersebut.
Inggris juga melobi pemerintah
di Addis Abeba agar menyepakati gencatan senjata. Adapun AS belum memberikan
komentar apapun.
Sejauh ini perang belum berhenti
berkecamuk. Armada jet tempur Ethiopia masih lalu lalang di langit Tigray,
meninggalkan ratusan mayat warga sipil yang tewas dalam serangkaian serangan
udara.
Adapun penutupan bandar udara dan
blokade terhadap semua jalan penghubung utama mempersulit ruang gerak penduduk
untuk mengevakuasi diri. Sejak pekan lalu sambungan telepon dan internet sudah
diputus pemerintah.
Kepala kantor bantuan
kemanusiaan PBB di Addis Abeba, Sajjid mengeluhkan blokade jalan "menyulitkan
tugas kami untuk memastikan pasokan bantuan kemanusiaan untuk hampir dua juta
orang."
"Sayangnya situasi ini mungkin
tidak bisa diatasi oleh semua pihak dalam satu atau dua pekan," tutur Sajjid.
"Kelihatannya ini akan jadi
konflik yang panjang."
Pemerintah federal Ethiopia dan
pemerintah regional Tigray saling menyalahkan siapa yang memulai konflik.
Masing-masing pihak menuduh pihak lain tidak memiliki mandat atau ilegal.
Konflik antaretnis di Ethiopia
TPLF merupakan partai penyangga koalisi pemerintahan Ethiopia, sebelum langkah
reformasi Abiy mengasingkan petinggi partai, dan memaksa TPLF meninggalkan
koalisi.
Reformasi Abiy banyak dikritik
karena dianggap mencederai konstitusi. Menurut UU Dasar Ethiopia, kekuasaan
dibagi rata terhadap sembilan wilayah etnik, termasuk Tigray.
Sejak awal etnis Tigray bersikap
skeptis terhadap seruan persatuan nasional yang digembar-gemborkan Abiy.
Bagi kawasan berpenduduk lima
juta orang itu, kekuasaan sang pemenang nobel lebih dianggap sebagai ancaman
ketimbang harapan, lapor Financial Times, Maret tahun lalu.
Sejak mengusir rezim junta
militer yang dibenci pada 1991 lalu, TPLF mendominasi politik lokal di Tigray.
Hingga kini kelompok yang masih
tercantum dalam Daftar Terorisme versi AS itu masih mempertahankan kekuatan
tempurnya, dan sebab itu diyakini akan mampu menyeret pemerintah dalam perang
tidak berkesudahan.
Kawasan Tigray saat ini
diprediksi menampung seperempat juta gerilayawan bersenjata.
Sementara dari enam divisi lapis
baja militer Ethiopia, empat di antaranya berbasis di Tigray.
Mereka adalah sisa kekuatan
tempur yang ditanam di kawasaan itu dalam perang di perbatasan dengan Eritrea.
PM Abiy sendiri membangun
reputasi dunia sebagai juru damai antara lain berkat kiprahnya menyepakati
gencatan senjata dengan jiran di utara.
Meski begitu, Eritrea hingga
kini belum sepenuhnya berdamai dengan TPLF. Selasa (10/11) lalu, presiden
Tigray menuduh Eritrea bersekongkol dengan pemerintah Ethiopia mendalangi
serangan militer terhadap wilayahnya.
"Perangnya berlanjut ke ronde
yang berbeda," kata dia.
Pemerintah Ethiopia sendiri
enggan mengomentari tuduhan tersebut. Sementara itu, Sudan meminta
lembaga-lembaga bantuan PBB mempercepat respon terhadap arus pengungsi di
provinsi Kassala dan Qadarif yang terletak di perbatasan Ethiopia.
"Semakin banyak perang, termasuk
yang luka dalam perang, masih akan datang," kata Al Sir Khalid, Kepala Lembaga
Bantuan Pengungsi PBB di Kassala.
"Mereka datang dalam kondisi
lelah dan kehausan. Mereka kelaparan karena harus berjalan di kawasan yang
tandus," kata dia sebelum menambahkan bahwa situasi kemanusiaan di perbatasan
memburuk dengan cepat. [dhn]