WahanaNews.co | Presiden Joko Widodo alias Jokowi menegaskan bahwa Indonesia siap menjadi Presiden G-20 tahun depan.
Hal ini disampaikannya secara virtual dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-76 pada Rabu (22/9/2021) waktu New York, Amerika Serikat.
Baca Juga:
Lagi, Diplomat RI Bungkam PM Vanuatu Gegara Isukan Pelanggaran HAM Papua Barat
Jokowi mengatakan, inklusivitas dan ekonomi hijau berkelanjutan akan menempati urutan teratas selama Kepresidenan G-20 di tahun 2022 yang bertema “Pulihkan Bersama, Pulihkan Lebih Kuat”.
Dia berkomitmen bekerja untuk kepentingan semua, termasuk untuk kelompok rentan yang harus diprioritaskan.
Selain menyerukan negara-negara untuk bekerjasama, ia juga menganjurkan untuk mengatur ulang sumber daya keamanan kesehatan global, seperti pendanaan dan vaksin, serta menetapkan protokol standar kesehatan global.
Baca Juga:
Penuh Perdebatan, Siapa yang Wakili Myanmar di Sidang Majelis Umum PBB?
“Komitmen Indonesia terhadap ketahanan iklim, pembangunan rendah karbon, dan teknologi hijau, tegas dan jelas,” katanya, seperti dikutip dari The Associated Press.
Namun, dia menambahkan bahwa negara-negara berkembang perlu diikutsertakan dalam transformasi proses energi dan teknologi.
Dia menggarisbawahi pentingnya diversifikasi lokasi sentra produksi.
“Pemulihan ekonomi global hanya dapat dicapai jika pandemi terkendali dan negara-negara bergandengan tangan saling membantu,” katanya.
“Indonesia, bersama dengan negara berkembang lainnya, akan merangkul investasi yang berkualitas,” tandasnya.
Jokowi juga mengatakan, Indonesia mengurangi kebakaran hutan sebesar 82 persen pada 2020, dibandingkan tahun sebelumnya.
Tingkat deforestasi juga turun ke level terendah dalam 20 tahun, katanya.
“Indonesia menyadari posisi strategis kita dalam perubahan iklim. Dengan demikian, kami akan terus bekerja keras untuk memenuhi komitmen kami,” ujarnya.
Sementara perubahan iklim dan ekonomi menjadi bagian penting, Presiden dalam pidatonya juga menyoroti isu-isu terorisme, konflik, dan perang.
“Kekhawatiran tentang marginalisasi perempuan dan kekerasan di Afghanistan, kemerdekaan Palestina yang sulit dipahami, dan krisis politik di Myanmar, harus menjadi agenda bersama kita,” katanya.
Pada poin terakhir itu, ia mengulangi seruan para pemimpin ASEAN agar militer Myanmar menyetujui lima poin konsensus yang disepakati di Jakarta.
Konsensus yang dibuat setelah kudeta militer Februari di Myanmar, juga menyebut tentang perlunya memulai dialog yang difasilitasi oleh utusan khusus ASEAN. [dhn]