WahanaNews.co | Presiden Sri Lanka melarikan diri ke Maladewa pada Rabu (13/7/2022), setelah berjanji akan mengundurkan diri saat kekacauan berbulan-bulan memuncak hingga pengunjuk rasa mengambil alih Istana Kepresidenan.
Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe mengatakan, ekonomi negara pulau itu telah "runtuh" karena kehabisan uang untuk membayar makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.
Baca Juga:
Presiden Jokowi dan Presiden Wickremesinghe Bahas Peningkatan Kerja Sama Indonesia-Sri Lanka
Wickremesinghe, yang baru menjabat pada Mei, juga berjanji akan mundur setelah pemerintahan baru dilantik. Dia mengaku tugas monumental yang dia hadapi dalam memulihkan ekonomi kini menuju "titik terendah".
Inilah kenyataan pahit bagi Sri Lanka yang ekonominya sempat tumbuh pesat, dengan kelas menengah bertumbuh hingga akhirnya terpukul krisis terburuk.
Seberapa parah krisis Sri Lanka?
Baca Juga:
Bakamla RI Terima Kunjungan Kehormatan DSCSC Sri Lanka
Pemerintah berutang 51 miliar dollar AS (lebih dari Rp 760 triliun) dan tidak dapat melakukan pembayaran bunga atas pinjamannya, apalagi mengurangi jumlah yang dipinjam.
Pariwisata, mesin penting pertumbuhan ekonomi Sri Lanka, telah tersendat karena pandemi dan kekhawatiran tentang keamanan setelah serangan teror pada 2019.
Mata uangnya jatuh hingga 80 persen, membuat impor lebih mahal dan memperburuk inflasi yang sudah tidak terkendali, dengan harga makanan naik 57 persen, menurut data resmi.
Kementerian Keuangan mengatakan, Sri Lanka hanya memiliki cadangan devisa yang dapat digunakan sebesar 25 juta dollar AS (Rp 375 miliar). Dibutuhkan 6 miliar dollar AS (Rp 90 triliun) untuk tetap bertahan selama enam bulan ke depan.
Alhasil, negara ini di ambang kebangkrutan, dengan hampir tidak ada uang untuk mengimpor bensin, susu, gas memasak, obat-obatan.
Bagaimana politik memengaruhi krisis?
Para ekonom mengatakan, krisis berasal dari faktor domestik seperti salah urus dan korupsi selama bertahun-tahun.
Sebagian besar kemarahan publik terfokus pada Presiden Gotabaya Rajapaksa dan saudaranya, mantan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa.
Mahinda terakhir mengundurkan diri setelah berminggu-minggu protes anti-pemerintah yang akhirnya berubah menjadi kekerasan.
Pada April 2021, Rajapaksa tiba-tiba melarang impor pupuk kimia. Dorongan untuk pertanian organik mengejutkan para petani dan menghancurkan tanaman padi pokok, dan mendorong harga lebih tinggi.
Pemerintah perlu meningkatkan pendapatannya karena utang luar negeri untuk proyek infrastruktur yang besar—dan dipertanyakan—melonjak. Namun, Rajapaksa malah mendorong pemotongan pajak terbesar dalam sejarah Sri Lanka.
Kreditur akhirnya menurunkan peringkat Sri Lanka, menghalanginya untuk meminjam lebih banyak uang karena cadangan devisanya merosot.
Orang-orang Sri Lanka melewatkan makan karena kesulitan ekonomi, mengantre berjam-jam untuk mencoba membeli bahan bakar dan gas memasak yang langka.
Program Pangan Dunia PBB mengatakan, hampir sembilan dari 10 keluarga melewatkan makan atau berhemat untuk mengulurkan makanan mereka. Sementara sekitar 3 juta menerima bantuan kemanusiaan darurat.
Menggunakan media sosial
Dokter terpaksa menggunakan media sosial untuk mendapatkan persediaan peralatan dan obat-obatan yang penting. Mereka memperingatkan warga agar berupaya semaksimal mungkin agar terhindar dari sakit atau kecelakaan.
Semakin banyak orang Sri Lanka yang mencari paspor untuk pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan. PNS diberikan hari libur ekstra selama tiga bulan untuk memberi mereka waktu menanam makanannya sendiri.
Singkatnya, orang-orang menderita dan putus asa untuk memperbaiki keadaan.
Apa yang dilakukan pemerintah?
Ketika pengunjuk rasa menuntut berakhirnya dinasti Rajapaksa, Wickremesinghe diangkat sebagai perdana menteri untuk masa jabatan keenamnya.
Langkah itu dilakukan Presiden Rajapaksa demi memulihkan kepercayaan publik dan diharapkan dapat mengembalikan ekonomi ke jalurnya.
Sejauh ini, Sri Lanka berusaha bertahan di tengah, terutama didukung oleh jalur kredit senilai 4 miliar dollar AS (Rp 60 triliun) dari negara tetangga India. Tetapi, Wickremesinghe memperingatkan agar tidak berhadap bantuan India akan bertahan lama.
Sebelumnya pada Juni, PBB memulai seruan publik di seluruh dunia untuk memberikan bantuan. Akan tetapi, proyeksi pendanaan sejauh ini hampir tidak menyentuh 6 miliar dollar AS, yang dibutuhkan negara itu untuk tetap bertahan selama enam bulan ke depan.
Minyak dengan potongan harga
Wickremesinghe mengatakan kepada AP dalam sebuah wawancara 12 Juni, bahwa dia akan mempertimbangkan untuk membeli minyak dengan potongan harga yang lebih besar dari Rusia untuk membantu negara itu melalui krisisnya.
Beberapa kebijakan yang berkontribusi terhadap kerusakan ekonomi sejak itu telah dibalik, termasuk pemotongan pajak 2019 dan larangan impor pupuk kimia tahun lalu. Namun, masih perlu waktu untuk melihat dampaknya.
“Sri Lanka menggantungkan harapan terakhir pada IMF,” kata berita utama baru-baru ini di surat kabar Colombo Times.
Pemerintah sedang dalam negosiasi dengan IMF mengenai rencana bailout. Wickremesinghe sebelumnya mengharapkan kesepakatan awal dengan IMF pada akhir Juli. Namun, itu juga bergantung pada penggantinya dan pemerintahan baru yang dipasang.
Korupsi politik juga merupakan masalah karena tidak hanya memainkan peran dalam negara yang menghambur-hamburkan kekayaannya, tetapi juga mempersulit penyelamatan keuangan apa pun bagi Sri Lanka.
Para pemimpin Sri Lanka sepakat anggota parlemen akan memilih presiden baru pada 20 Juli, tetapi pada Selasa (12/7/2022) mereka masih berjuang memutuskan susunan pemerintahan baru.
Anit Mukherjee, seorang rekan kebijakan dan ekonom di Pusat Pembangunan Global di Washington, mengatakan, bantuan apa pun dari IMF atau Bank Dunia harus disertai dengan persyaratan yang ketat untuk memastikan bantuan tersebut tidak salah kelola.
Namun, Mukherjee mencatat bahwa Sri Lanka berada di salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, sehingga membiarkan negara dengan signifikansi strategis seperti itu runtuh bukanlah suatu pilihan. [qnt]