WahanaNews.co | Presidensi Indonesia dalam G-20 jadi peluang luar biasa untuk memperlihatkan pentingnya pendidikan pluralisme atau lintas agama sebagai pendorong dunia keluar dari krisis akibat pandemi Covid-19.
Wakil Presiden Forum Lintas Agama G-20, Dr Katherine Marshall mengatakan, krisis yang dihadapi masyarakat global saat ini memperlihatkan adanya ketidaksetaraan, lemahnya kualitas pemerintahan, dan konflik antar berbagai kelompok berbeda.
Baca Juga:
Sherpa G20 Indonesia Pimpin Perundingan Sebagai Perjalanan Akhir Presidensi G20 Brasil
“Saat ini Indonesia mempunyai kesempatan sebagai ketua dari Forum G-20. Forum lintas agama G-20 sendiri bertujuan memupuk suara keragaman lintas agama ke dalam diskusi global. Dengan pemerintah Indonesia sebagai ketua, ini sesuatu yang sangat bermakna,” kata Dr Marshall dalam webinar internasional bertema “Pendidikan Agama dan Lintas Agama untuk Masyarakat Majemuk yang Damai” yang diadakan Institut Leimena bersama The Sanneh Institute, Selasa (15/2/2022) malam.
Dalam keterangan yang diterima, Kamis (17/2/2022), Dr Marshall, yang juga senior fellow di Georgetown University, Amerika Serikat, menilai, Indonesia bisa memanfaatkan kepemimpinannya di G20 untuk memastikan para pemimpin dunia tidak hanya terfokus pada isu-isu yang “mati”, misalnya, arsitektur keuangan dan alokasi Special Drawing Rights (SDR) dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Sebaliknya, pemimpin dunia bisa melihat pelajaran yang muncul dari kedaruratan Covid-19 untuk pendidikan terutama pendidikan keberagaman.
Baca Juga:
Menkeu Lakukan Diskusi Strategis tentang Pembiayaan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
“Saya rasa Indonesia memiliki kesempatan khusus untuk menunjukkan lewat contoh keragamannya sendiri,” ujarnya kepada lebih dari 960 peserta webinar dari sekitar 27 negara.
Dr Marshall mengatakan, bagian utama dari krisis pendidikan dunia adalah belajar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang semakin beragam etnis dan agama. Forum Lintas Agama G20 adalah sebuah inisiatif penting untuk mendampingi pertemuan G20 agar agama-agama selalu menjadi bagian dari agenda global.
Sebagaimana tema presidensi Indonesia dalam G-20 Recover Together, Recover Stronger sehingga pemulihan akibat krisis Covid-19 tidak bisa dilihat dari sisi ekonomi semata, melainkan semua bidang kehidupan.
“Kita lihat pandemi membawa sisi terbaik manusia, ada tujuan yang sama. Tetapi sering juga membawa bagian terjelek dari sisi manusia dimana kita sering menyalahkan satu sama lain dan meminggirkan satu bagian dari masyarakat kita. Di situlah, umat beragama, kelompok beragama membawa kebaikan dalam situasi ini,” ujarnya.
Direktur Eksekutif The Sanneh Institute, Dr John Azumah mengatakan, Afrika merupakan negara yang sangat plural karena memiliki banyak keragaman agama. Di Afrika, lazim ditemui 3-4 agama dalam suatu keluarga.
The Sanneh Institute adalah lembaga berbasis di Ghana, Afrika Barat, berisi komunitas ilmiah yang didedikasikan untuk memperlengkapi dan menyediakan sumber daya bagi pemimpin agama, cendekiawan, lembaga akademik, dan masyarakat Afrika lewat penyelidikan lebih lanjut.
Keberadaan The Sanneh Institute terkait erat dengan kondisi di Afrika. Meskipun mayoritas warga benua itu adalah orang beragama, hanya sedikit penganut bahkan pemuka agama yang mengenal agamanya secara dalam. Hal itu kerap memunculkan prasangka dan stereotip karena sikap picik atau sekadar ketidaktahuan.
“Kita mendapatkan situasi dimana stereotip, prasangka, justru semakin dipupuk dan ini bisa menjadi situasi sangat matang bagi intoleransi, khususnya ekstrimisme dengan kekerasan seperti kita lihat di Afrika,” katanya.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Abdul Mu’ti mengatakan, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi yang mengembangkan Pendidikan Agama Islam (PAI) pluralistis dimana para siswa Kristen di lembaga itu bisa mendapatkan pelajaran agama Kristen.
PAI pluralistis bukan sinkretisme (pencampuran ajaran agama), tapi mendorong pengamalan ajaran agama dan menumbuhkan toleransi.
“Itulah sebabnya beberapa murid kami menjadi seorang Kristen Muhammadiyah. Pemeluk agama Kristen atau Katolik, tapi pada saat bersamaan menjadi simpatisan dari organisasi Muhammadiyah, bahkan aktif di beberapa gerakan,” kata Prof Mu’ti.
Senior Fellow Institut Leimena dan Mantan Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Prof Alwi Shihab mencontohkan hubungan tidak bersahabat selama berabad-abad antara agama Abrahamik yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Perasaan getir dan permusuhan, diperkuat oleh literatur berupa opini dan fatwa yang diproduksi dalam situasi permusuhan oleh sebagian pemuka agama masing-masing.
“Adalah tanggung jawab kolektif para pendidik dan pemuka agama masing-masing untuk introspeksi diri dan berusaha kembali ke sikap dan pandangan yang lebih bersahabat. Tujuan ini tidak mungkin tercapai kecuali melalui pendidikan untuk mengoreksi hal-hal yang merupakan sumber konflik dan permusuhan,” kata Alwi Shihab, Menlu RI tahun 1999-2001 itu.
Senior Fellow University of Washington, Dr Chris Seiple mengatakan, pendidikan lintas iman ibarat membuat gado-gado, bukan melebur bahan menjadi satu tetapi mempertahankan identitas setiap bahan untuk menjadi suatu perpaduan yang lezat.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho mengatakan, pendidikan agama berperan penting dalam masyarakat majemuk karena mempengaruhi bagaimana kita melihat dan memperlakukan mereka yang berbeda agama dan kepercayaan. [rin]