WAHANANEWS.CO - Raja George III, salah satu raja Inggris yang paling dikenal dalam sejarah, pernah dijuluki “Raja Gila” karena perilakunya yang dianggap tak wajar.
Namun, penelitian modern mengungkap bahwa julukan itu tidak sepenuhnya tepat.
Baca Juga:
Inggris Tangkap Delapan Tersangka Terorisme dalam Dua Operasi Terpisah
Raja yang memerintah dari 1760 hingga 1820 ini kemungkinan besar menderita gangguan bipolar tipe I, bukan porfiria seperti yang dulu banyak diyakini.
Porfiria adalah penyakit langka yang disebabkan oleh penumpukan porfirin dalam tubuh dan bisa menyebabkan gejala seperti nyeri hebat serta urine berwarna biru.
Dugaan porfiria pada George III muncul karena ia pernah menunjukkan gejala tersebut.
Baca Juga:
Profil Linda Pizzuti, Wanita Cantik di Balik Kesuksesan Liverpool
Namun, riset terbaru dari University of London menunjukkan bahwa urine biru yang dialaminya kemungkinan disebabkan oleh konsumsi obat dari tanaman gentian, bukan penyakit porfiria.
Dr. Peter Garrard dan Dr. Vassiliki Rentoumi meneliti tulisan tangan George III dan menemukan bahwa saat sakit, ia menulis kalimat-kalimat sangat panjang, menggunakan banyak kata kerja, diksi rumit, dan mengulang-ulang kata.
Ini adalah ciri khas fase mania pada gangguan bipolar, yakni saat seseorang mengalami lonjakan energi dan euforia berlebihan.
Saksi sejarah juga mencatat bahwa George III sering bicara tak terkendali hingga berbusa dan mengalami kejang, bahkan pernah bersikap kasar terhadap anggota keluarganya, termasuk membanting putranya sendiri.
OPCRIT, program diagnostik berbasis komputer, mengonfirmasi bahwa gejala-gejalanya sesuai dengan bipolar tipe I fase mania akut.
Gangguan mentalnya pertama kali terlihat pada tahun 1788, dan memburuk setelah kematian putri kesayangannya, Putri Amelia, pada 1810.
Sejak saat itu, George III hidup dalam isolasi di Kastil Windsor hingga wafat pada 1820.
[Redaksi: Rinrin Khaltarina]