WAHANANEWS.CO, Jakarta - Alphabet’s Google kembali dijatuhi sanksi oleh Rusia, dengan denda sebesar ₽3,8 juta yang dijatuhkan oleh pengadilan setempat. Keputusan ini berkaitan dengan video kontroversial di YouTube yang menuai kecaman dari Kremlin.
Dilansir dari Reuters pada Rabu (19/2/2025), Google dikenakan denda karena mengizinkan tayangan video yang berisi instruksi bagi tentara Rusia untuk menyerah dalam perang. Konten tersebut memicu kemarahan pemerintah Rusia dan dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional.
Baca Juga:
KPPU Denda Google Ratusan Miliar atas Praktik Monopoli dan Penyalahgunaan Dominasi
Hingga kini, Google belum memberikan tanggapan resmi terkait putusan tersebut. Namun, sanksi ini menambah daftar panjang ketegangan antara Rusia dan raksasa teknologi asal Amerika Serikat tersebut.
Sebelumnya, Google telah berulang kali dituduh menjadi alat propaganda Washington. Pemerintah Rusia juga mengkritik perusahaan ini karena dinilai tidak berupaya meningkatkan infrastruktur teknologinya di wilayah Rusia.
Salah satu keluhan utama adalah lambatnya kecepatan unduhan video di YouTube untuk pengguna di negara tersebut.
Baca Juga:
Komisi Perdagangan Jepang Tuduh Google Monopoli Industri Mesin Pencarian
Sementara itu, Rusia terus menekan platform teknologi asing untuk menghapus konten yang dianggap melanggar aturan, termasuk yang dikategorikan sebagai "berita palsu" terkait konflik di Ukraina.
Pemerintah Rusia kerap menjatuhkan denda dalam jumlah kecil namun secara berulang kepada platform yang tidak mematuhi regulasi ini.
Para kritikus menilai bahwa strategi ini digunakan untuk membungkam suara-suara yang menentang kebijakan Presiden Vladimir Putin.
Menanggapi hal ini, pengamat dunia siber, Ferdian, menyebut langkah Rusia sebagai bentuk kontrol ketat terhadap informasi digital.
“Ini bukan sekadar soal denda, tetapi upaya Rusia dalam membatasi arus informasi yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Platform digital seperti YouTube kini menjadi medan pertempuran baru, di mana sensor dan propaganda saling berhadapan,” ujarnya, Rabu (19/2/2025).
Ferdian juga menyoroti bahwa tindakan ini bisa menjadi preseden bagi negara lain yang ingin memperketat regulasi terhadap perusahaan teknologi asing.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]