WAHANANEWS.CO, Jakarta - Dalam langkah politik dan ekonomi yang mengejutkan, Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Rabu (9/5/2025) waktu setempat mengumumkan penundaan sementara selama 90 hari atas tarif tinggi yang baru saja diberlakukannya terhadap puluhan negara.
Namun, China tidak mendapat keringanan tersebut. Sebaliknya, tarif impor terhadap negara itu justru dinaikkan lagi menjadi 125%.
Baca Juga:
Wamendag: Indonesia Kedepankan Diplomasi Perdagangan Hadapi Trump 2.0
Keputusan mendadak ini langsung mengguncang pasar keuangan global. Indeks saham utama AS melonjak tajam, sementara investor menyambut baik jeda tarif yang dapat meredakan ketegangan ekonomi.
Sebaliknya, tekanan terhadap China semakin meningkat di tengah perang dagang yang semakin panas.
Langkah mundur ini terjadi hanya 24 jam setelah tarif tinggi mulai diberlakukan. Lonjakan volatilitas di pasar keuangan, yang disebut sebagai gejolak terbesar sejak pandemi Covid-19, menjadi faktor utama di balik keputusan ini.
Baca Juga:
China Serang Balik! Tarif Naik Jadi 84%, Trump Dibuat Pusing
Triliunan dolar menguap dari bursa saham global, sementara imbal hasil obligasi pemerintah AS melonjak drastis, memicu kekhawatiran di Gedung Putih.
"Saya melihat tadi malam bahwa orang-orang mulai merasa mual," ujar Trump dalam wawancara dengan Reuters. "Tapi sekarang, pasar obligasi tampak jauh lebih baik."
Sejak kembali menjabat pada Januari, Trump kerap melontarkan ancaman tarif terhadap mitra dagang, tetapi sering pula mencabutnya secara tiba-tiba.
Pola kebijakan yang berubah-ubah ini membuat para pemimpin dunia dan pelaku usaha kesulitan menghadapi ketidakpastian ekonomi yang semakin besar.
Dalam pernyataan terbarunya, Trump menjelaskan bahwa penundaan tarif ini akan berlangsung selama tiga bulan untuk memberi kesempatan negosiasi dengan negara-negara yang mengajukan keberatan.
Namun, ketegangan dengan China tidak berkurang.
Sebaliknya, tarif impor dari negara itu dinaikkan dari 104% menjadi 125%, memperburuk eskalasi perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.
Gedung Putih menegaskan bahwa penundaan tarif ini tidak berlaku untuk semua kebijakan proteksionis AS.
Tarif umum sebesar 10% atas sebagian besar barang impor tetap berlaku, begitu pula bea masuk tinggi untuk mobil, baja, dan aluminium.
Pasar menyambut positif langkah ini. Indeks saham S&P 500 ditutup naik 9,5%, sementara dolar AS menguat terhadap mata uang safe haven.
Namun, para analis mengingatkan bahwa reli pasar ini tidak serta-merta menghapus dampak negatif dari tarif yang telah diterapkan sebelumnya.
Survei terbaru menunjukkan bahwa investasi bisnis dan belanja rumah tangga mulai melambat karena ketidakpastian ekonomi.
Sementara itu, Bank investasi Goldman Sachs menurunkan perkiraan kemungkinan resesi AS dari 65% menjadi 45% setelah pengumuman Trump.
Meski begitu, mereka tetap memperkirakan bahwa tarif yang masih berlaku akan meningkatkan biaya rata-rata impor sebesar 15%, yang berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, yang memimpin negosiasi perdagangan bilateral, menyatakan bahwa keputusan Trump merupakan bagian dari strategi diplomasi ekonomi.
"Ini memang strategi Presiden dari awal," ujarnya. "Bahkan bisa dibilang, ini adalah cara untuk memojokkan China. Mereka merespons, dan dunia kini bisa melihat siapa yang sebenarnya menjadi aktor jahat."
Menurut Bessent, negara-negara yang tidak melakukan pembalasan terhadap tarif AS mendapatkan "hadiah" berupa penundaan bea masuk.
Ia juga menyebutkan bahwa negosiasi mendatang akan mencakup isu yang lebih luas, termasuk kerja sama militer dan bantuan luar negeri, di samping pembahasan tarif.
Trump menegaskan bahwa kesepakatan dengan China masih mungkin terjadi, tetapi saat ini pemerintahannya akan fokus pada negosiasi dengan lebih dari 75 negara yang telah mengajukan keberatan atas kebijakan tarif baru ini.
Sejauh ini, Trump telah berbicara langsung dengan para pemimpin Jepang dan Korea Selatan, sementara delegasi Vietnam dijadwalkan bertemu pejabat AS pada Rabu sore waktu setempat.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]