WAHANANEWS.CO, Jakarta - Rentetan kegagalan keamanan yang melibatkan Dinas Rahasia Amerika Serikat (Secret Service) kembali menjadi sorotan setelah Presiden AS Donald Trump mengonfirmasi adanya insiden di mana seorang agen mencoba membawa istrinya naik ke pesawat pendukung misi Air Force One dalam kunjungan ke Skotlandia pekan lalu.
Dalam perjalanan pulang ke Washington usai kunjungan lima hari di Eropa, Trump mengungkapkan kekesalannya kepada wartawan.
Baca Juga:
AS Tekan 14 Negara Lewat Surat Tarif: Trump Minta Kesepakatan Sebelum 1 Agustus
"Menurut Anda, apakah itu bukan tindakan yang agak berbahaya?" ucap Trump pada Selasa (29/7/2025).
Presiden menyebut insiden itu sebagai "urusan yang aneh" dan mengatakan telah menerima laporan resmi soal peristiwa tersebut. Ia juga menyatakan kepercayaan bahwa Direktur Secret Service yang baru, Sean M. Curran, akan mengambil tindakan yang tepat.
Insiden tersebut pertama kali diberitakan oleh The Herald, sebuah surat kabar di Glasgow, yang melaporkan bahwa seorang agen Secret Service dari Dallas membawa istrinya, anggota Angkatan Udara AS, ke Maryland, tempat ia menghadiri pengarahan resmi dan ikut dalam bus menuju Pangkalan Gabungan Andrews, lokasi keberangkatan pesawat misi Trump ke Skotlandia.
Baca Juga:
Trump Ancam Terapkan Tarif 200 Persen untuk Obat Impor, Produsen Tertekan
Namun, upaya membawa sang istri ikut naik pesawat itu berhasil digagalkan.
Juru bicara Secret Service, Anthony Guglielmi, dalam pernyataan resminya mengatakan bahwa pihaknya sedang menyelidiki pegawai yang mencoba membawa istrinya, anggota militer, dalam misi yang tidak diizinkan.
"Pegawai tersebut sebelumnya telah diperingatkan oleh atasannya bahwa tindakan itu tidak diizinkan," kata Guglielmi, sembari menambahkan bahwa sang istri dicegah untuk ikut terbang dan tidak ada dampak terhadap misi pengamanan presiden di luar negeri.
Sebagai catatan, dalam setiap lawatan presiden, Air Force One biasanya didampingi oleh pesawat-pesawat pendukung yang mengangkut perlengkapan logistik, staf, dan pengamanan tambahan.
Masalah ini menambah daftar panjang kegagalan Secret Service dalam menjalankan tugasnya, termasuk dua upaya pembunuhan terhadap Trump sepanjang kampanye pilpres 2024.
Pada Sabtu (13/7/2024), saat berkampanye di Butler, Pennsylvania, Trump tertembak di telinga kanan oleh seorang pria bernama Thomas Matthew Crooks, yang kemudian ditembak mati oleh agen penembak jitu di lokasi.
Meski Secret Service bergerak cepat menyelamatkan Trump, laporan Senat AS mengungkapkan sejumlah kelalaian serius.
Sedikitnya sepuluh permintaan pengamanan tambahan, termasuk sistem anti-drone, tidak dipenuhi, dan atap gedung tempat pelaku menembak pun dibiarkan tanpa penjagaan.
Parahnya lagi, agen penghubung yang bertugas menjalin koordinasi dengan aparat lokal tak diberi sanksi, padahal sudah menerima peringatan soal Crooks 25 menit sebelum penembakan.
Dampak dari insiden ini menyebabkan Direktur Secret Service saat itu, Kimberly Cheatle, mundur dari jabatannya setelah mendapat tekanan dalam sidang Komite Pengawas DPR AS.
Ancaman terhadap Trump terus berlanjut.
Pada Minggu (15/9/2024), seorang pria bernama Ryan Wesley Routh dilaporkan menyelinap ke lapangan golf di West Palm Beach, Florida, tempat Trump beraktivitas.
Ia bersembunyi di titik tinggi dan mencoba menembak Trump menggunakan senapan, tetapi segera terdeteksi dan ditembaki oleh agen pengamanan meski sempat lolos dari enam tembakan sebelum akhirnya ditangkap dan kini menunggu persidangan atas tuduhan percobaan pembunuhan.
Setelah pengunduran diri Cheatle, jabatan Direktur Secret Service sempat diisi oleh Ron Rowe sebagai pelaksana tugas, sebelum kemudian secara resmi diambil alih oleh Sean Curran, mantan anggota tim pengamanan pribadi Trump yang berada di atas panggung saat insiden penembakan di Butler dan turut mengamankannya ke kendaraan kepresidenan dalam kondisi terluka.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]