Namun, menurut peneliti politik Asia Tenggara dari Lowy Institute, Ben Bland, mengatakan apa yang dilakukan ASEAN lebih dari sekadar gimik.
"Apakah keputusan ASEAN tak mengundang pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing dari KTT pekan ini lebih dari sekadar gestur menyelamatkan wajah (ASEAN)? Saya pikir iya. Meski begitu, negara-negara anggota masih terpecah," kata Bland dalam tulisannya berjudul ASEAN Muddles through on Myanmar.
Baca Juga:
Strategi Kolaborasi Ekonomi Indonesia-Australia Kembali Diperkuat untuk Lanjutkan Berbagai Komitmen Kerja Sama
Menurut Bland, keputusan tegas untuk tak mengundang junta Myanmar di KTT lahir di tengah kekhawatiran sebagian negara ASEAN terkait eksistensi blok tersebut.
Beberapa negara ASEAN, kata Bland, menganggap perlu tindakan signifikan yang segera demi menjaga kredibilitas ASEAN, terutama dalam menghadapi sikap junta Myanmar.
Namun, di sisi lain, sebagian anggota juga mempertahankan prinsip dasar ASEAN untuk tidak ikut campur dalam urusan internal anggota lainnya.
Baca Juga:
Dukung World Water Forum 2024, PLN Bakal Siapkan 52 Charging Station
"Tapi, seperti yang dikatakan Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin pada pekan lalu kepada saya, 'jika ASEAN tidak mengambil sikap tegas terhadap Myanmar, ASEAN akan terlihat sebagai sekelompok negara yang selalu setuju antara satu dan lainnya dalam hal-hal yang tidak ada harganya'," kata Bland.
Menurut Bland, langkah ASEAN tak mengundang Aung Hlaing tepat karena itu menjadi "sanksi" atas keengganan junta Myanmar mematuhi lima poin konsensus yang telah disepakati sebelumnya.
Direktur Program Asia Tenggara Lowy Institut, lembaga think-tank berbasis di Australia, menganggap keberanian ASEAN itu merupakan pukulan telak bagi legitimasi junta militer sendiri di mata asosiasi itu bahkan internasional.