WahanaNews.co, Jakarta - Kementerian Kesehatan berencana menggantikan sistem kelas rawat inap 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan dengan menerapkan sistem kelas rawat inap standar (KRIS) pada tahun 2025 mendatang.
Walaupun ada perubahan dalam sistem kelas rawat, namun besaran iuran BPJS Kesehatan tetap tidak mengalami perubahan hingga saat ini.
Baca Juga:
MPW Pemuda Pancasila Riau-BPJS Ketenagakerjaan Gelar Sosialisasi Jaminan Sosial Pekerja Informal
Menurut Ali Ghufron Mukti, Direktur Utama BPJS Kesehatan, besaran nominal iuran BPJS Kesehatan masih stabil karena belum ada perubahan dalam landasan hukum yang mengaturnya.
Landasan hukum tersebut masih mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Memang sampai sekarang belum ada peraturan, kebijakan, yang disampaikan ketua dewan tarif, kelas berapa, itu belum ada," ujarnya dalam rapat di Komisi IX DPR, Jakarta, bulan lalu dikutip Minggu (14/4/2024).
Baca Juga:
Dinas Kesehatan Yogyakarta: Perilaku Heteroseksual Masih Risiko Utama Penyebaran HIV/AIDS
Di website BPJS Kesehatan juga masih tertera ketentuan tarif iuran BPJS Kesehatan yang belum berubah.
Iuran ini dibedakan berdasarkan berdasarkan jenis kepesertaan setiap peserta dalam program JKN mulai dari ASN, pekerja penerima upah, hingga pekerja bukan penerima upah.
Iuran untuk peserta pekerja bukan penerima upah serta iuran peserta bukan pekerja adalah sebesar Rp. 42.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
Khusus untuk kelas III, bulan Juli - Desember 2020, peserta membayar iuran sebesar Rp. 25.500, sisanya sebesar Rp 16.500, akan dibayar oleh pemerintah sebagai bantuan iuran.
Per 1 Januari 2021, iuran peserta kelas III yaitu sebesar Rp 35.000, sementara pemerintah tetap memberikan bantuan iuran sebesar Rp 7.000.
Sebesar Rp. 100.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II, dan sebesar Rp. 150.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
Adapun iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri sebesar 5% dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan: 4% dibayar oleh pemberi kerja dan 1% dibayar oleh peserta.
Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta sebesar 5% dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 4% dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1% dibayar oleh Peserta.
Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar sebesar 1% dari dari gaji atau upah per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima upah.
Bagi peserta Penerima Bantun Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan iuran dibayar oleh Pemerintah.
Sementara itu, iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan keluarga yang termasuk janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan, dihitung sebesar 5% dari 45% gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 tahun per bulan, yang dibayar oleh Pemerintah.
Profesor Ghufron menyatakan bahwa iuran tersebut tetap sama bagi semua peserta, baik mereka kaya maupun miskin, misalnya sebesar Rp 70.000. Hal ini dinilai sebagai pelanggaran terhadap prinsip kesejahteraan sosial.
Ghufron menjelaskan bahwa meskipun iuran yang sama mungkin tidak memberatkan bagi orang kaya, namun bagi mereka yang miskin, hal tersebut bisa menjadi beban.
Ia kembali menekankan bahwa jaminan kesehatan pemerintah, seperti BPJS Kesehatan, didasarkan pada konsep gotong royong.
Ghufron menyoroti bahwa dalam gotong royong, iuran yang sama bagi orang kaya mungkin terasa ringan, tetapi bagi orang miskin, bahkan iuran sebesar Rp 42.000 pun bisa menjadi beban yang berat.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]