WahanaNews.co | Kronologi dua perusahaan farmasi, PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries dijerat pidana terkait kasus gagal ginjal akut diungkap Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan mulanya BPOM melakukan pengujian dan pengawasan sampling obat-obatan. Kemudian ditemukanlah perusahaan farmasi yang memproduksi obat sirop dengan bahan baku propilen glicol yang tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas.
Baca Juga:
Polda Sulsel Tetapkan Tiga Tersangka Peredaran Kosmetik Berbahaya di Makassar
Selain itu, BPOM juga menemukan sejumlah bukti seperti perubahan bahan baku obat dan sumber pemasok tanpa melalui proses kualifikasi pemasok dan pengujian bahan baku.
Menurutnya, sudah seharusnya setiap perusahaan farmasi melaporkan bahan baku yang digunakan. Terutama jika ada perubahan bahan setelah mereka mendapat izin produksi obat.
"Ada indikasi industri farmasi melakukan perubahan bahan baku tanpa melakukan uji sesuai standar yang ada. Kalau ada perubahan harusnya melapor ke BPOM," ujarnya.
Baca Juga:
Awas! 6 Produk Kosmetik Sulsel Terbukti Mengandung Merkuri
Berdasarkan ketidaksesuaian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, BPOM menjatuhkan sanksi administratif terhadap perusahaan farmasi itu.
"Berupa penghentian produksi, distribusi, penarikan kembali, dan pemusnahan," ucap Penny.
Penny juga mencabut sertifikat CPOB untuk fasilitas produksi dua perusahaan farmasi tersebut. Sertifikat CPOB adalah dokumen bukti sah bahwa industri farmasi telah memenuhi persyaratan dalam membuat satu jenis obat.
Penny menjelaskan BPOM bersama Bareskrim Polri melakukan operasi sejak Senin 24 Oktober 2022 terhadap PT Yarindo Farmatama yang beralamat di Jalan Modern Industri, Cikande, Serang, Banten dan PT Universal Pharmaceutical Industries yang beralamat di Medan, Sumatera Utara.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan sesuai dengan ketentuan penyidikan didapati adanya bahan baku pelarut propilen glicol produk jadi serta bahan pengemas yang juga terkait dengan kegiatan produksi sirop obat mengandung EG dan DEG yang melebihi ambang batas," katanya.
Penny menambahkan, setelah BPOM dan Bareskrim Polri melakukan pemeriksaan terhadap saksi ahli pidana dan saksi dari distributor, kedua perusahaan itu disinyalir melakukan tindak pidana.
Sebab, keduanya memproduksi dan mengedarkan produk farmasi yang tidak memenuhi standar serta persyaratan keamanan khasiat, pemanfaatan, dan mutu.
"Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 196 dan Pasal 98 ayat 2 dan 3, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar," ujar Penny.
Selain itu, kedua perusahaan farmasi itu juga memperdagangkan barang yang tidak memiliki atau tidak sesuai dengan standar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hal itu, kata Penny, seperti yang termaktub dalam Pasal 62 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.
"Kalau nanti terbukti ada kaitannya dengan kematian tentunya akan ada ancaman lain," katanya.
Sementara itu, PT Yarindo Farmatama buka suara soal dugaan melakukan tindak pidana terkait kasus gagal ginjal akut.
Manager Bidang Hukum PT Yarindo Farmatama Vitalis Jebarus mengatakan saat ini Bareskrim Polri masih melakukan klarifikasi untuk produk flurin DMP milik perusahaannya.
Ia menyebut tidak ada korban jiwa karena meminum obat flurin hasil produksi perusahaannya.
"Mabes masih tahap klarifikasi untuk produk flurin milik PT Yarindo. Sampai saat tidak ada orang yang meninggal karena minum obat flurin," ujar Vitalis kepada CNNIndonesia.com, Senin (31/10
Vitalis menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah membeli atau menggunakan bahan EG dan DEG dalam proses produksi obat-obatan.
"Kami juga sudah menyerahkan semua dokumentasi yang terkait dengan bahan baku yg dikirim oleh pemasok ke pabrik kami," katanya. [tum]