WahanaNews.co | Berbeda dengan jenis obat-obatan lainnya, saat diresepkan, antibiotik jadi obat yang harus dihabiskan. Mengapa demikian?
Tapi apakah cara tersebut sudah benar?
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba atau KPRA dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Anis Karuniawati mengatakan tidak ada yang salah dengan antibiotik yang diresepkan dokter.
Para dokter juga biasanya memberikan catatan agar obat dihabiskan sesuai dengan penyakit yang diderita pasien. Sebaliknya, justru tidak sedikit pasien yang tidak menjalankan perintah tersebut dan hanya minum beberapa butir antibiotik saja.
"Padahal antibiotik ini harus selalu dihabiskan. Kalau pasien sudah merasa mendingan, tetap harus habis karena itu sudah sesuai dengan takaran tubuh masing-masing," kata Anis dalam acara diskusi bersama WHO dan FAO di Westin Jakarta, beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
Simak! Ini Daftar Obat yang Tidak Boleh Dikonsumsi Setelah Minum Susu
Menurut Anis, dokter tentu telah melakukan berbagai diagnosa sebelum memberi seorang pasien antibiotik. Pemberian itu juga telah melalui berbagai pertimbangan agar si pasien tidak mengalami masalah resistensi antibiotik.
"Kan memberi antibiotik tidak bisa sembarangan, makanya harus sesuai resep dokter, walau tidak melalui tahap uji lab dan sebagainya tapi resepnya sudah disesuaikan," kata dia.
Ini juga yang menjadi alasan kenapa dokter kerap menanyakan berbagai hal kepada pasien. Pertanyaan itu mulai dari gejala, alergi terhadap obat tertentu, hingga makanan apa saja yang sempat dikonsumsi sebelum sakit. Hal ini kata Anis, juga menjadi bagian pemeriksaan sebelum diberikan antibiotik untuk pasien.
Pemeriksaan ini juga berlaku untuk konsultasi jarak jauh atau konsultasi melalui telemedicine seperti yang tengah marak dilakukan saat ini.
"Dokter kalau mendiagnosis harus detail, mulai dari pemeriksaan fisik, bertanya soal gejala. Tentu saja tidak ada kata sembarangan," kata dia.
Lantas kenapa semakin banyak orang yang terkena resistensi antibiotik?
Menurut Anis, alasan semakin meningkatnya kasus resistensi antibiotik ini bukan karena pemberian antibiotik oleh dokter. Tapi karena semakin maraknya antibiotik yang dijual bebas dan bisa dibeli tanpa resep dokter.
Obat warung kata dia, banyak mengandung antibiotik. Misal seorang pasien menderita sakit gigi, dia bisa saja membeli obat warung atau obat lainnya yang diklaim bisa untuk menyembuhkan sakit kepala atau flu.
Namun, dengan diagnosa sendiri dan juga jumlah yang tak terkontrol, hal ini bisa membuat mikroba atau penyakit yang bersarang di tubuh pasien mengalami resistensi terhadap obat-obat tertentu.
"Makanya ada aturan yang harus makin diperketat tentang jual beli obat-obatan ini. Terutama untuk obat-obat yang mengandung antibiotik," kata dia. [ast]