WahanaNews.co | Studi yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences tahun 2022, menunjukkan bahwa parasetamol dan sejumlah limbah obat-obatan lainnya ditemukan di berbagai lokasi di Sungai Citarum, Jawa Barat.
Hal itu didapatkan melalui kajian yang dilakukan peneliti dari University of York, Inggris.
Baca Juga:
Tanggul Sungai Citarum Bekasi Jebol Setelah 1 Tahun Dibangun
Mereka juga menemukan beragam zat aktif seperti paracetamol, nikotin, carbamazepine yang biasa digunakan sebagai obat epilepsi, serta metformin yang kerap dipakai sebagai obat diabetes.
Ada pula limbah sejumlah obat antibiotik yang mencemari Sungai Citarum.
Mengutip pemberitaan media, Kamis (17/2/2022), berdasarkan data dari 10 lokasi pengambilan sampel di dua lokasi menunjukkan bahwa kadar paracetamol di Sungai Citarum mencapai 1630 nG/L dan 1590 nG/L.
Baca Juga:
Hari Sungai Nasional, Yuk Jaga Sungai dan Hemat Air!
Jumlah ini jauh lebih tinggi daripada temuan paracetamol di Teluk Jakarta yang diungkap para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Universitas Brighton, Inggris, pada 2021 lalu.
Berdasarkan studi pendahuluan (preliminary study) yang diterbitkan di jurnal Marine Pollution Bulletin edisi Juni 2021, menunjukkan kontaminasi paracetamol di Muara Angke mencapai 610 ng/L, konsentrasi tertinggi yang pernah ditemukan dalam air laut.
Menanggapi hasil riset tersebut, peneliti Ahli Utama Bidang Pencemaran Laut di BRIN, Zainal Arifin, berkata, temuan konsentrasi paracetamol dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan di Teluk Jakarta itu sebenarnya tidak mengherankan.
"Bahkan mungkin (kandungan paracetamol di Sungai Citarum) bisa jauh lebih tinggi lagi tiga atau empat kali lipat (dari Teluk di Jakarta)," terang Zainal kepada wartawan, Jumat (18/2/2022).
Sumber kontaminan paracetamol, kata dia, bisa berasal dari darat (land-based sources).
Jika di daratan, maka limbah obat-obatan seperti parasetamol bisa berasal dari instalasi pengelolaan limbah air limbah (IPAL) yang tidak maksimal.
Selain itu, penggunaan paracetamol yang berlebihan, pembuangan sisa obat kedaluwarsa, ataupun berasal dari perusahaan yang tidak mengelola limbahnya dengan baik.
"Saya kira kualitas air Citarum jelas berbeda dibanding 25 atau 50 tahun yang lalu, dan makin memburuk kualitas airnya, akibat beragam bahan pencemar," imbuhnya.
Menurut dia, hasil riset lainnya yang dilakukan peneliti BRIN juga telah menemukan keanekaragaman ikan turun drastis.
Kemudian, kualitas air Sungai Citarum serta beberapa sungai di Pulau Jawa cenderung menurun akibat buruknya pengelolaan limbah rumah tangga, dan IPAL yang tidak maksimal.
"Hipotesis saya memang kualitas air sungai-sungai Pulau Jawa dan Sumatera cenderung menurun, saya tidak tahu di tingkat indonesia karena sangat tergantung pada kondisi wilayahnya," ujar Zainal.
"Namun hasil review tim kami terkait kualitas beberapa muara-muara sungai (estuari) di pesisir utara Jawa, pesisir timur Sumatera dan Pulau Kalimantan memiliki konsentrasi nutrient yang relatif tinggi. Jadi bukan parasetamol yang saya sebut di sini adalah nutrient (unsur hara) yang berlebih akibat aktivitas manusia di darat," sambungnya.
Apabila ditinjau dari angka rata-rata konsentrasi limbah obat-obatan yang terakumulasi dilihat dari data University of York, limbah di Sungai Citarum berada di bawah tingkat keparahan sungai di Lahore, Pakistan.
Sungai Citarum mencapai 5460 ng/L, sedangkan Sungai Ravi di Lahore adalah yang terparah dengan 70.700 ng/L.
Sampel dari 104 Negara
Adapun riset dari itu telah meneliti sampel dari 1.052 lokasi di 104 negara.
Hasilnya, sekitar 25 persen dari 258 sungai yang sampelnya diteliti mengandung zat aktif obat-obatan pada tingkatan yang diyakini tidak aman bagi organisme perairan.
"Biasanya, yang terjadi adalah kita mengonsumsi zat kimia ini. Zat tersebut menghasilkan efek yang diinginkan kemudian meninggalkan tubuh kita," ungkap ketua tim penelitian, Dr John Wilkinson, dilansir dari BBC, Selasa (15/2/2022).
"Apa yang kami ketahui kini adalah tempat pengolahan limbah air paling modern dan efisien sekalipun tidak sepenuhnya mampu mengurai zat-zat ini sebelum dibuang ke sungai atau danau," lanjutnya.
Dia menuturkan, obat yang paling banyak ditemukan di lokasi pengambilan sampel di antaranya carbamazepine yang biasa digunakan sebagai obat epilepsi, serta metformin yang dipakai sebagai obat diabetes.
Tiga zat lainnya yang paling banyak didapati adalah kafein, nikotin, dan paracetamol.
"Kami dapat mengatakan (dampak keberadaan limbah farmaseutikal di sungai) kemungkinan besar negatif. Tapi harus dilakukan tes masing-masing zat dan saat ini kajian seperti itu relatif sedikit," jelas Dr Veronica Edmonds-Brown, ahli ekologi perairan dari University of Hertfordshire, Inggris.
Sementara, sungai-sungai yang paling tercemar berada di negara dengan penduduk berpenghasilan rendah hingga menengah, termasuk Pakistan, Bolivia, dan Ethiopia.
Laporan tersebut juga menyebutkan, semakin banyak obat antibiotik di sungai maka bisa menyebabkan berkembangnya bakteri yang kebal terhadap antibiotik.
Hal ini tentunya akan merusak efektivitas obat dan pada akhirnya menimbulkan ancaman terhadap lingkungan, maupun kesehatan global. [gun]