WAHANANEWS.CO, Jakarta – Biasanya, manusia yang berada di lingkungan dengan kadar oksigen rendah akan mengalami hipoksia, yaitu kondisi di mana tubuh tidak mendapatkan cukup oksigen yang dibutuhkan untuk berfungsi dengan baik.
Hal ini sering terjadi pada para pendaki gunung yang mengalami mabuk ketinggian. Namun, penduduk asli Tibet telah mengalami perubahan biologis yang memungkinkan mereka bertahan dalam kondisi tersebut.
Baca Juga:
53 Orang Tewas Akibat Gempa Tibet China, 62 Orang Terluka
Manusia terus berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu contoh nyata dari evolusi ini dapat ditemukan di Dataran Tinggi Tibet.
Di ketinggian lebih dari 3.500 meter, di mana kadar oksigen jauh lebih rendah dibandingkan daerah dataran rendah, komunitas manusia dapat bertahan dan berkembang.
Adaptasi Manusia terhadap Hipoksia di Dataran Tinggi
Baca Juga:
Kota Shigatse Tibet Diguncang Gempa Berkekuatan 6,9 Skala Richter
"Adaptasi terhadap hipoksia di dataran tinggi sangat menarik karena tekanan yang dialami cukup berat, dirasakan oleh semua orang yang berada di ketinggian tersebut, dan dapat diukur secara kuantitatif," ujar Cynthia Beall, seorang antropolog dari Case Western Reserve University, sebagaimana dikutip oleh ScienceAlert.
Beall dan timnya telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun untuk memahami bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan hipoksia.
Dalam penelitian terbaru yang diterbitkan pada Oktober 2024, mereka menemukan bahwa penduduk Tibet memiliki ciri khas dalam sistem peredaran darah yang membantu pengangkutan oksigen.
Keberhasilan Reproduksi dan Seleksi Alam Dalam penelitian ini, Beall dan timnya mengamati 417 wanita berusia 46 hingga 86 tahun yang telah tinggal sepanjang hidup mereka di Nepal, pada ketinggian sekitar 3.500 meter di atas permukaan laut.
Mereka mencatat jumlah kelahiran hidup per wanita, yang berkisar antara 0 hingga 14 anak, dengan rata-rata 5,2 anak per wanita. Selain itu, mereka juga mengukur tingkat hemoglobin dalam darah, yang berfungsi mengangkut oksigen ke jaringan tubuh.
Yang menarik, wanita dengan tingkat kelahiran hidup tertinggi tidak memiliki kadar hemoglobin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, tetapi justru berada di kisaran rata-rata dalam kelompok uji.
Namun, saturasi oksigen dalam hemoglobin mereka lebih tinggi dibandingkan yang lain. Ini menunjukkan bahwa adaptasi yang terjadi memungkinkan peningkatan pengangkutan oksigen ke jaringan tubuh tanpa mengentalkan darah, yang jika terjadi dapat meningkatkan beban kerja jantung.
"Sebelumnya, kami mengetahui bahwa kadar hemoglobin yang lebih rendah bermanfaat. Sekarang, kami memahami bahwa nilai menengah memiliki manfaat tertinggi. Kami juga tahu bahwa saturasi oksigen hemoglobin yang lebih tinggi itu baik, tetapi sekarang kami melihat bahwa semakin tinggi saturasi, semakin besar manfaatnya," jelas Beall.
Lebih lanjut, wanita dengan tingkat keberhasilan reproduksi tertinggi juga memiliki laju aliran darah yang tinggi ke paru-paru, serta bilik kiri jantung yang lebih lebar dari rata-rata.
Semua karakteristik ini memungkinkan transportasi oksigen yang lebih efisien ke seluruh tubuh, sehingga membantu tubuh mengatasi kondisi rendah oksigen di lingkungan mereka.
Selain faktor biologis, penelitian ini juga menemukan bahwa faktor budaya turut berperan dalam tingkat keberhasilan reproduksi. Wanita yang mulai melahirkan di usia muda dan menjalani pernikahan yang lebih lama memiliki peluang lebih besar untuk memiliki lebih banyak anak.
Namun, meskipun faktor budaya mempengaruhi, perbedaan fisiologis tetap menjadi aspek utama dalam adaptasi ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seleksi alam masih terus berlangsung. Wanita yang memiliki fisiologi yang paling cocok dengan lingkungan dataran tinggi cenderung memiliki lebih banyak anak yang mampu bertahan hidup dan meneruskan sifat-sifat adaptif ini kepada generasi berikutnya.
"Ini adalah contoh seleksi alam yang masih berlangsung hingga saat ini. Memahami bagaimana populasi seperti ini beradaptasi memberikan kita wawasan yang lebih baik tentang proses evolusi manusia," kata Beall.
Studi ini telah diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences dan memberikan bukti lebih lanjut bahwa manusia masih terus berkembang sesuai dengan tantangan lingkungan yang mereka hadapi.
[Redaktur: Alpredo Gultom]