WahanaNews.co | dr. Zulvia Syarif, Psikiater dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan, mengatakan sekali saja manusia menggunakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza) maka bisa menyebabkan penurunan fungsi otak.
"Dari sisi kesehatan, Napza bekerja di sistem syaraf pusat di otak, yang mengubah tingkat kesadaran, cara berpikir, temperamen, dan sebagainya. Artinya yang seharusnya di dalam jalur (on track), karena zat ini jadinya di luar jalur (off track)," ungkap Zulvia melalui kanal instagram, Selasa (27/6/2023) memgutip ANTARA.
Baca Juga:
Polisi Ungkap Fauzan si Tukang Jagal di Muara Baru Sempat Kupas Jari Mayat Istri
Dengan demikian, lanjut dia, satu atau dua kali penggunaan Napza tetap akan berdampak terhadap sel-sel syaraf atau sel-sel neuron di otak.
Ia mengatakan jika dipakai berulang-ulang atau bertahun-tahun maka bisa mengakibatkan penurunan memori, penurunan konsentrasi, gangguan dalam pembuatan keputusan, kesulitan mengetahui mana yang benar dan salah, baik dan buruk, bahkan tidak bisa merencanakan masa depan.
"Makanya yang sudah kena bertahun-tahun cenderung impulsif. Jadi hidupnya cenderung tanpa rencana. Karena memang ada bagian otak yang terganggu fungsinya," ucap Zulvia.
Baca Juga:
Polda Kaltara Ungkap Dua Jaringan Narkotika dan Musnahkan 149,46 Gram Sabu
Jadi, kata dia, kalau dipakai satu kali saja, tetap sel otaknya tetap rusak. Hal ini semakin parah jika digunakan pada masa pertumbuhan atau masa remaja. Jadi ketika sel otaknya masih mau berkembang, akhirnya sel otaknya dirusak oleh Napza.
"Jadi generasi yang memakai Napza ini, tidak akan punya masa depan yang cemerlang. Jadi sayang sekali," ungkap dia.
Ia juga menjelaskan ketika seseorang sudah masuk dalam kondisi adiksi (kecanduan), berarti dia sedang mengalami gangguan otak.
Penelitian, lanjut dia, juga menunjukkan kalau adiksi sifatnya kronis dan kambuhan sehingga butuh penyembuhan jangka panjang.
"Jadi kita harus sepakat dulu adiksi ini adalah sebuah penyakit. Ini bukan masalah bandel atau kenakalan semata atau anak ini tidak takut dosa. Jadi kita harus sepakat bahwa adiksi adalah penyakit. Jadi kalau penyakit, pendekatannya ya medis," ungkap dia.
Secara medis, jelas dia, adiksi ini disebabkan oleh tiga faktor. Pertama faktor biologis (genetik, neuron transmiter), kedua faktor psikis atau ada masalah pada kepribadian, dan ketiga secara sosial mungkin masalah dengan lingkungan sekitar.
"Untuk penanganan, secara biologis akan dikasih obat. Secara psikis diberi bimbingan konseling, kalau masalah sosial diberi keterampilan agar bisa diterima kembali oleh masyarakat termasuk juga pembekalan spiritual," ungkap dia.
"Namun penanganan spiritual atau religius sering dijadikan satu-satunya cara mengatasi adiksi. Itu boleh, tetapi itu hanya tambahan. Tidak bisa kita hanya mengandalkan pendekatan religius atau spiritual, tetapi itu hanya pelengkap. Yang utama itu tetap pendekatan medis," kata dia menegaskan.
[Redaktur: Alpredo]