WahanaNews.co | Badai
Sitokin sontak menjadi viral setelah dikabarkan hampir merenggut nyawa salah
satu entertainer terkenal, Deddy Corbuzier. Deddy mengungkapkan dirinya
terinfeksi COVID-19 dan mengalami kondisi badai sitokin.
Secara umum, setiap pasien Corona berisiko mengalami kondisi
tersebut, meskipun telah dinyatakan negatif dari COVID-19. Menurut dokter
spesialis penyakit dalam, dr Ceva Wicaksono Pitoyo, SpPD-KP, badai sitokin
berasal dari dua kata, yaitu cyto (sel) dan kine (kinetik atau pergerakan).
Baca Juga:
Korupsi APD Covid Negara Rugi Rp24 Miliar, Eks Kadinkes Sumut Divonis 10 Tahun Bui
"Itu semacam protein yang dilepaskan sel kekebalan,
semacam senjata yang dilepaskan dan alat komunikasi kepada sel yang lain untuk
memerintahkan terjadi peradangan," kata dr Ceva dalam Podcast TanyaIDI
episode 18, Jumat (27/8/2021).
Pada pasien yang mengalami badai sitokin, beberapa sel dalam
tubuh akan mengalami kerusakan. Namun menurut dr Ceva, kondisi itu juga dapat
berfungsi sebagai peredam.
Umumnya, badai sitokin dapat terjadi ketika telah melewati
hari ke-10. Kondisi itu kemungkinan dapat berlangsung selama 40 hari dan dapat
menyerang pada semua organ.
Baca Juga:
Kasus Korupsi APD Covid-19: Mantan Kadinkes Sumut Dituntut 20 Tahun Penjara
"Beberapa pasien ada yang mengalaminya saat hari ke-4.
Setiap pasien juga mengalami badai yang berbeda, mulai dari badai ringan hingga
berat," ungkapnya.
dr Ceva menjelaskan, pada badai yang berat pasien akan
mengalami gejala demam, sesak napas, saturasi oksigen semakin menurun, bahkan
serangan jantung akibat pergumpalan darah.
Ia menambahkan, sampai saat ini Indonesia belum memiliki
alat untuk memprediksi pasien yang berisiko terkena badai sitokin. Namun, ada
beberapa faktor risiko yang mempengaruhinya, salah satunya usia.
"Tapi tampaknya, faktor usia menjadi salah satu
pemicunya. Banyak yang terjadi pada usia di atas 50 tahun. Semakin lanjut usia,
risiko terkena badai sitokin lebih besar," jelas dr Ceva.
Meski begitu, dr Ceva mengatakan bahwa pasien usia muda juga
berisiko terkena badai sitokin. Namun jumlah tersebut lebih sedikit dibanding
usia tua.
Menyinggung pasien yang memiliki komorbid, dr Ceva
mengatakan bahwa belum ada bukti yang signifikan untuk menjadikan komorbid
sebagai faktor risiko.
"Hanya saja, ketika badai sitokin yang dialaminya
semakin berat, penyakit bawaan itu bisa semakin parah, terutama pada penderita
sakit ginjal," kata dr Ceva.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa pasien yang memiliki
gangguan genetik dapat mengalaminya. Menurutnya, jika sistem kekebalan tubuh
cenderung lebih reaktif, pasien akan cenderung terkena badai sitokin. [rin]