WAHANANEWS.CO, Jakarta – Penggunaan vape atau rokok elektrik kini semakin marak di kalangan generasi milenial dan Gen Z.
Banyak orang beralih ke vape karena menganggapnya sebagai opsi yang lebih aman dibandingkan rokok konvensional. Namun, anggapan ini keliru.
Baca Juga:
Lebih dari Hiburan, Konser Bagi Gen Z Adalah Investasi Emosional
Meski tidak mengandung tembakau, vape tetap mengandung nikotin dan berbagai zat kimia berbahaya dalam cairannya (e-liquid), yang bisa berdampak serius pada kesehatan. Rokok elektrik kerap dianggap sebagai pilihan "lebih sehat", tetapi pada kenyataannya, baik rokok elektrik maupun rokok tembakau sama-sama berisiko terhadap kesehatan tubuh.
Menurut dr. Agus Dwi Susanto, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), baik vape maupun rokok konvensional mengandung zat adiktif seperti nikotin, karsinogen, dan racun lainnya yang dapat merusak paru-paru serta menyebabkan kecanduan.
Sebuah studi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan RS Persahabatan tahun 2018 mencatat bahwa 76,5% pengguna vape reguler mengalami ketergantungan nikotin.
Baca Juga:
Investor Qatar Akan Bangun 1 Juta Rumah di Kalibata untuk Gen Z dan Milenial
Data Global Youth Survey juga menunjukkan lonjakan signifikan pengguna vape di Indonesia, dari 0,3% pada 2011 menjadi 10,9% pada 2018.
Penelitian dari National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine yang dirilis pada Januari 2018 menguatkan temuan tersebut, menyatakan bahwa vape juga berpotensi merusak kesehatan.
Sejak kemunculannya pada 1930-an, vape terus menarik perhatian. Di Indonesia, berbagai pihak termasuk BPOM dan Kementerian Kesehatan telah mengusulkan pembatasan atau pelarangan vape karena risiko kesehatannya.
Meskipun vape tidak mengandung tembakau, hal ini tidak serta-merta menjadikannya lebih aman. Banyak senyawa dalam vape yang bersifat toksik dan bisa memicu penyakit serius seperti kanker, penyakit jantung, hingga emfisema.
Bahkan, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa kerusakan paru akibat vape bisa muncul dalam waktu kurang dari satu tahun.
Efek samping penggunaan vape mencakup iritasi tenggorokan, batuk, mulut kering, pusing, dan mual.
Sebagian pengguna bahkan mengalami kondisi serius seperti EVALI (E-cigarette or Vaping Product Use-Associated Lung Injury), yang menjadi bukti nyata risiko kesehatan dari vape.
Hingga saat ini, belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa vape lebih aman daripada rokok tembakau. Salah satu kekhawatiran besar adalah bagaimana vape memicu budaya merokok di kalangan anak-anak dan remaja. WHO bahkan telah menyerukan pelarangan penggunaan vape bagi anak, remaja, dan ibu hamil.
Data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2018 juga menunjukkan tren peningkatan perokok usia 10–18 tahun, dari 7,20% pada 2013 menjadi 9,10% pada 2018.
Kesimpulannya, baik vape maupun rokok konvensional sama-sama berbahaya. Menjauhi keduanya adalah langkah terbaik untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan daya tahan tubuh.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]