WahanaNews.co | Setelah
heboh masuknya varian baru virus corona asal Inggris, B.1.1.7 ke Indonesia, masyarakat
dimina untuk meningkatkan kewaspadaan terkait munculnya mutasi baru virus
SARS-CoV-2 yang disebut N439K.
Baca Juga:
WHO: Omicron Belum Sebabkan Kematian, Delta Jauh Lebih Ganas
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin
Soebandrio, menyebut saat ini ada 48 kasus mutasi N439K di tanah air. Bahkan
menurutnya, varian ini sudah terdeteksi sejak November 2020.
"Sudah dilaporkan lama, artinya sudah ditemukan
November lalu sudah ada di Indonesia. Dari sekitar 537 isolat yang sudah
dipelajari ada 48 mengandung mutasi itu," jelas Amin saat dihubungi
kumparan, Sabtu (13/3).
Mutasi N439K pertama kali ditemukan di Skotlandia pada Maret
2020. Sejak saat itu garis keturunan kedua (B.1.258) muncul dan menyebar di
sejumlah negara Eropa pada awal Januari 2021 dan terdeteksi di lebih dari 30
negara di seluruh dunia.
Baca Juga:
WHO: Belum Ada Kematian Akibat Omicron, Delta Jauh Lebih Ganas
Temuan ini telah dipublikasikan di jurnal Cell pada 25
Januari 2021. Varian baru N439K disebut-sebut lebih pintar dari virus corona
terdahulu, yang sekarang banyak menyebar di seluruh dunia. Ada sejumlah fakta
yang telah diketahui terkait mutasi virus corona N439K ini. Berikut
fakta-faktanya.
Mutasi mirip dengan
virus tipe liar
Para peneliti menyebut bahwa mutasi N439K mirip dengan virus
tipe liar Wuhan dalam hal virulensi dan kemampuannya dalam menginfeksi manusia.
Ini artinya, pola penyebaran virus hampir sama dengan virus corona yang pertama
kali muncul di Wuhan, termasuk dalam menyebabkan penyakit.
Lebih kuat mengikat
reseptor ACE-2
Peneliti mengatakan bahwa varian baru N439K dapat mengikat
lebih kuat pada reseptor ACE-2. ACE-2 sendiri dikenal sebagai "pintu
masuk" virus corona SARS-CoV-2 ke tubuh manusia. Ketika virus corona masuk
ke dalam saluran pernapasan, ia akan menempel di ACE-2. Semakin banyak ekspresi
ACE-2 dalam tubuh, maka semakin tinggi potensi terjadinya kerusakan pada
saluran pernapasan.
"Analisis struktural kami menunjukkan bahwa mutasi baru ini
memperkenalkan interaksi tambahan antara virus dan reseptor ACE2," kata Gyorgy
Snell, salah satu penulis studi dari MRC-University of Glasgow Center for Virus
Research di Inggris, sebagaimana dikutip EurekAlert.
Kebal antibodi
Berdasarkan penelitian, varian N439K kebal terhadap terapi
klinis imunoglobulin yang telah disetujui penggunaannya oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan (FDA) AS. Terapi imunoglobulin yang juga dikenal Intravenous
immunoglobulin therapy (IVIG) adalah penggunaan campuran antibodi untuk
menangani sejumlah kondisi medis, terutama untuk memperkuat sistem kekebalan
tubuh. Biasanya diambil dari penyintas COVID-19.
"Ini berarti bahwa virus memiliki banyak cara untuk
mengubah domain immunodominant untuk menghindari kekebalan sekaligus
mempertahankan kemampuan untuk menginfeksi dan menyebabkan penyakit," ujar
Snell.
Ini juga diungkapkan oleh Prof Zubairi Djoerban, Ketua
Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ia mengatakan bahwa varian baru
ini mampu bertahan terhadap antibodi.
"Yang paling disorot dari N439K adalah sifatnya yang
resisten terhadap antibodi alias tidak mempan. Baik itu antibodi dari tubuh
orang yang telah terinfeksi, maupun antibodi yang telah disuntikkan ke tubuh
kita," ungkapnya.
Mutasi paling umum
kedua di dunia
Peneliti menyebut, di antara banyak mutasi yang terjadi saat
ini, varian N439K adalah yang paling umum kedua di dunia dalam receptor binding
domain (RBD). Sejauh ini ada dua varian virus corona yang menjadi perhatian
para peneliti, yakni varian Afrika Selatan dan Inggris.
"Temuan penting dari makalah ini adalah tingkat
variabilitas yang ditemukan dalam immunodominant receptor binding (RBM) pada
protein lonjakan," ungkap Snell. "Ini menggarisbawahi kebutuhan untuk
pengawasan yang luas, pemahaman rinci tentang mekanisme molekuler dari mutasi,
dan untuk pengembangan terapi terhadap resistensi varian yang beredar saat ini
dan yang akan muncul di masa depan."
Untuk pencegahannya, Amin meminta masyarakat untuk terus
disiplin protokol kesehatan. "Kalau masalah pencegahannya sama, kita kan
kalau di luar tidak tahu varian yang mana yang ada. Prinsipnya tetap menerapkan
prokes," imbaunya. [qnt]