WahanaNews.co, Jakarta - Belakangan ini, kasus pembunuhan anak oleh orang tua atau yang dikenal sebagai filisida, termasuk bunuh diri, semakin banyak terjadi.
Misalnya saja, pembunuhan empat anak oleh ayah kandungnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan, serta guru yang melakukan bunuh diri bersama anaknya di Malang.
Baca Juga:
Waspadai Orang Manipulatif, Kenali Tanda dan Trik Manipulator di Sekitar Kita
Kasus lain yang viral di media sosial adalah seorang ayah yang membanting anak sampai tewas di Penjaringam, Jakarta Utara.
Fenomena seperti ini tidaklah jarang terjadi. Melansir Republika.co.id, menurut sebuah studi yang didukung oleh National Institute of Health, sekitar 15 persen dari penangkapan pembunuhan selama periode 32 tahun bersifat filisida.
Susan Hatters Friedman, seorang psikiater reproduksi dan profesor psikiatri forensik di Case Western Reserve University di Ohio, menyatakan bahwa ada berbagai alasan yang berbeda mengapa orang tua membunuh anak-anak mereka.
Baca Juga:
Psikolog Sebut Hukuman Fisik Bukan Cara Tepat Perbaiki Perilaku Anak
Pembunuhan anak oleh orang tua seringkali memiliki latar belakang yang lebih kompleks daripada yang terlihat pada awalnya.
Penelitian ilmiah telah mengidentifikasi motivasi di balik tindakan orang dewasa yang membunuh anak-anak.
Dr. Phillip Resnick, yang pada tahun 1969 memberikan kesaksian dalam persidangan Andrea Yates, menjelaskan lima motif utama pembunuhan anak oleh orang tua, baik ayah maupun ibu.
Penjelasan ini didasarkan pada tinjauan atas banyak kasus yang dijelaskan dalam literatur dunia. Dilansir dari laman Yahoo, Sabtu (16/12/2023), berikut adalah lima motif tersebut.
1. Kelompok Penganiayaan Fatal
Ini merupakan pola yang sering terjadi, di mana kematian anak menjadi hasil akhir dari tindakan penyiksaan atau penelantaran.
Motif ini dapat ditemukan dalam kasus penganiayaan anak oleh seorang ayah pecandu narkoba di Penjaringan.
Anak-anak ini sering kali telah mengalami perlakuan buruk selama periode waktu yang lama, dan kondisi mereka semakin memburuk.
Meskipun demikian, ada kalanya kematian mereka terjadi setelah satu insiden yang sangat parah.
Contohnya adalah kisah anak bernama Awan (10 tahun) di Penjaringan yang diketahui meninggal saat hendak dibawa ke rumah sakit.
Ayah kandungnya, U (44), dikabarkan membanting anaknya setelah sang anak tidak sengaja menyerempet anak tetangga saat mengendarai sepeda.
Dalam kelompok ini, penyakit mental atau penyalahgunaan zat terlarang oleh orang tua mungkin jadi salah satu pengaruh. Begitu pula gangguan kepribadian atau kesulitan dalam mengasuh anak.
2. Kelompok Anak yang tidak Diinginkan
Kelompok ini melihat anak mereka sebagai penghalang. Prioritas lebih diberikan pada kebutuhan atau keinginan orang tua daripada kehidupan anak tersebut.
Motif ini seringkali muncul dalam kasus pembunuhan bayi yang baru lahir (neonaticide), yaitu kematian bayi yang terjadi pada saat kelahiran, terutama setelah kehamilan yang disembunyikan.
Namun, dapat terjadi bahwa seorang anak tidak diinginkan, tanpa memandang usianya, dan hal ini bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti keinginan orang tua untuk menjalani hubungan tanpa kehadiran anak.
Dalam situasi ini, orang tua biasanya tidak menganggap anak sebagai individu yang memiliki hak kehidupan sendiri, melainkan sebagai entitas yang sepenuhnya terkendali oleh orang tua.
3. Kelompok Pembalasan Pasangan
Istilah ini diperuntukkan bagi orang tua yang membunuh seorang anak untuk membalas dendam pada pasangannya. Dalam kasus balas dendam pasangan, orang tua membunuh anaknya untuk membalas pasangannya (atau mantannya) dan melukai mereka secara emosional.
Hal ini mungkin terjadi dalam perebutan hak asuh. Motif ini seperti yang tercermin dalam pembunuhan di Jagakarsa, di mana ayah anak tersebut menulis pesan "Puas Bunda Tx For All' di lantai rumah lokasi pembunuhan.
4. Kelompok Altruistik
Berbeda dengan tiga motif sebelumnya, kelompok yang jauh lebih kecil dari individu yang dinyatakan tidak bersalah karena alasan kegilaan dan mereka yang melakukan bunuh diri cenderung memiliki motivasi altruistik atau "psikotik akut".
Dalam pembunuhan altruistik, orang tua mengambil tindakan membunuh anak mereka karena perasaan cinta.
Penelitian lebih lanjut menggambarkan bahwa ibu atau ayah mungkin mengalami kondisi psikotik atau depresi pada saat tersebut, di mana mereka kehilangan kontak dengan realitas.
Apabila orang tua tersebut mengalami kondisi psikotik, mereka mungkin memiliki delusi bahwa anak mereka akan menghadapi nasib yang lebih buruk daripada kematian.
Oleh karena itu, mereka meyakini bahwa membunuh anak mereka dengan cara yang dianggap "lembut" akan menyelamatkannya dari konsekuensi yang lebih buruk.
Motif ini mencakup kasus seperti yang dilakukan oleh seorang guru SD di Malang yang mengajak anak kesayangannya untuk bunuh diri setelah terjerat utang.
Sebaliknya, anak-anak lain yang kurang dekat dengannya tidak diajak untuk melakukan bunuh diri.
Orang tua yang mengalami depresi berat mungkin merencanakan bunuh diri dan tidak ingin meninggalkan anak mereka sendirian di "dunia yang kejam" ini.
Motif altruistik juga terlihat dalam jenis pembunuhan keluarga lainnya, seperti seorang lansia yang membunuh pasangannya yang mengalami masalah kesehatan atau demensia.
5. Kelompok Psikotik Akut
Ini melibatkan orang-orang yang melakukan pembunuhan karena motif yang tidak rasional. Dalam kasus psikotik akut, orang tua membunuh tanpa memiliki alasan rasional yang jelas.
Contohnya, mereka mungkin mendengar perintah dari Tuhan dalam konteks keadaan psikosis.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]