Tohom yang juga Pengamat Energi dan Lingkungan ini menambahkan bahwa akar persoalan mikroplastik tidak bisa dipisahkan dari buruknya sistem pengelolaan sampah nasional.
“Selama konsumsi plastik sekali pakai masih tinggi dan infrastruktur daur ulang tidak memadai, paparan mikroplastik akan terus meningkat. Pemerintah perlu melihat ini sebagai persoalan lintas sektor, yang meliputi kesehatan, lingkungan, industri pangan, hingga tata kota,” katanya.
Baca Juga:
Tak Hanya Banjir, Hujan di Jakarta Kini Juga Bawa Mikroplastik Berbahaya ke Udara
Ia juga menyarankan agar pemerintah mengoptimalkan riset nasional mengenai standar batas aman mikroplastik, mengingat hingga kini belum ada regulasi baku yang melindungi konsumen.
Di sisi lain, Tohom mendorong edukasi publik yang lebih praktis dan mudah diaplikasikan.
“Langkah sederhana seperti memilih kemasan kaca, mencuci beras dengan benar, mengurangi konsumsi makanan olahan, hingga menghindari paparan panas pada wadah plastik sudah bisa menurunkan risiko. Namun masyarakat perlu dibekali informasi yang tepat,” ujarnya.
Baca Juga:
BRIN: Air Hujan Jakarta Mengandung Mikroplastik Jangan Dikonsumsi, Pramono Buka Suara
Sebelumnya, sejumlah penelitian internasional, termasuk temuan dari Portland State University, Autonomous University of Barcelona, University of Queensland, Ocean Conservancy, serta laporan CNET, mengungkap kadar mikroplastik yang tinggi pada berbagai jenis bahan pangan, seperti makanan laut, teh celup, beras, garam, air kemasan, madu, hingga buah, sayuran, serta makanan olahan berbasis protein nabati dan hewani.
Penelitian itu juga menyoroti belum adanya batas aman konsumsi mikroplastik secara resmi di tingkat global.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]