WahanaNews.co | Pernyataan
dr Louis ihwal kematian pasien COVID-19 karena interaksi obat jadi sorotan
publik. Guru Besar Fakultas Farmasi UGM Prof. Zullies Ikawati pun mengemukakan
pandangan ilmiahnya terkait hal itu.
Baca Juga:
WHO Kaji Potensi Obat Tradisional China untuk Pengobatan Covid-19
Menurutnya, interaksi obat merupakan adanya pengaruh suatu
obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien.
Interaksi tersebut sebenarnya dapat terjadi dalam 3 hal,
yaitu bersifat sinergis atau menyebabkan meningkatnya efek farmakologi obat
lain, bersifat antagonis atau mengurangi efek obat lain. Atau dapat
meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan tersebut.
"Karena itu, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya
berkonotasi berbahaya, ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. Jadi tidak
bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual," jelas Prof
Zullies dalam keterangan tertulisnya.
Baca Juga:
Pasien Isoman Wajib Tahu! Berikut Daftar Obat Covid-19 dan Fungsinya
Dalam penanganan COVID-19 ini memang digunakan obat-obatan
yang beragam. Terlebih jika pasien tersebut merupakan pasien dengan penyakit
penyerta atau komorbid.
Sehingga obat yang digunakan bisa lebih dari satu jenis.
Untuk itu, pemberian obat tidak boleh sembarang. Mengombinasikan obat dengan
mekanisme interaksi yang menguntungkanlah yang harus dipilih.
"Dalam kasus ini, memang pemilihan obat yang akan
dikombinasikan harus tepat, yaitu yang memiliki mekanisme yang berbeda, sehingga
ibarat menangkap pencuri, dia bisa diadang dari berbagai penjuru. Dalam hal
ini, obat tersebut dapat dikatakan berinteraksi, tetapi interaksi ini adalah
interaksi yang menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan
darah," ungkap dia.
"Memang tetap harus diperhatikan terkait dengan risiko
efek samping, karena semakin banyak obat tentu risikonya bisa meningkat,"
jelasnya.
Dalam kasus seperti ini, dokter tentu akan memilih
obat-obatan yang tepat dan saling bersinergi untuk penanganan COVID-19 maupun
komorbidnya itu sendiri.
Lalu, kapan interaksi obat dapat dikatakan merugikan?
"Interaksi obat dapat merugikan jika adanya suatu obat
dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yang digunakan bersama. Atau bisa
juga jika ada obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain
yang digunakan bersama, maka akan makin meningkatkan risiko total efek
sampingnya. Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan
membahayakan," urai Prof Zullies.
Prof Zullies kemudian mencontohkan kombinasi obat yang
memiliki efek samping yang sama. Untuk itu penggunaannya secara berbarengan
bisa memberikan akumulasi efek samping yang lebih berbahaya.
"Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin
yang dulu digunakan untuk terapi Covid, atau azitromisin dengan levofloksasin,
mereka sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung. Jika digunakan
bersama maka bisa terjadi efek total yang membahayakan," jelasnya.
"Selain itu, interaksi obat dapat meningkatkan efek
terapi obat lain. Pada tingkat tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat
akibat adanya obat lain dapat menguntungkan, tetapi juga dapat berbahaya jika
efek tersebut menjadi berlebihan. Misalnya efek penurunan kadar gula darah yang
berlebihan akibat penggunaan insulin dan obat diabetes oral, bisa menjadi
berbahaya," tambahnya.
Lalu, bisakah pasien menghindari adanya interaksi obat?
Menurut Prof Zullies, hal tersebut terkadang tak bisa
dihindari pada pasien-pasien dalam proses terapi seperti pada kasus COVID-19.
Maka dari itu menurutnya, obat-obatan dengan risiko interaksi terendah yang
harus dipilih. Namun kenyataannya, tak semua obat yang digunakan bersama itu
punya interaksi yang berarti.
"Faktanya, tidak semua obat yang digunakan bersama itu
menyebabkan interaksi yang signifikan secara klinis. Yang artinya aman-aman
saja untuk dikombinasikan atau digunakan bersama," jelasnya.
Untuk itu, pemberian obat juga harus mempertimbangkan dengan
memahami mekanisme interaksinya. Mekanisme interaksi obat dapat melibatkan
aspek farmakokinetik (mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi obat lain), atau farmakodinamik (ikatan dengan reseptor atau target
aksinya).
Maka, ada cara-cara yang dapat dilakukan untuk menghindarinya.
Misalnya dengan memberikan jeda waktu yang cukup panjang dalam mengkonsumsi dua
jenis obat yang dipercaya dapat meningkatkan interaksi. Namun jika mekanismenya
adalah mempengaruhi metabolisme obat maka penyesuaian dosis obat juga dapat
dilakukan.
"Jika pemberian jeda pemberian dan penyesuaian dosis
tidak dapat mencegah dampak interaksi, maka cara lain menghindari interaksi
obat adalah dengan mengganti obat yang berinteraksi dengan obat lain yang
kegunaannya sama, tetapi kurang berinteraksi," kata Prof Zullies.
"Sekali lagi, dampak interaksi obat tidak bisa
digeneralisir dan harus dilihat kasus demi kasus secara individual, sehingga
pengatasannya pun berbeda-beda pada setiap kasus," katanya.
Kesimpulannya, apakah benar interaksi obat bisa menyebabkan
kematian?
Ternyata menurut Prof Zullies tidak sesederhana itu.
Penggunaan obat yang diduga dapat menyebabkan interaksi perlu pemantauan yang
lebih. Sehingga, jika ada peningkatan interaksi yang tidak diinginkan,
penggunaan obat dapat segera dihentikan atau mengganti dengan obat lain.
Kondisi ini menurutnya sangatlah membutuhkan kolaborasi
antara dokter, perawat, maupun apoteker. Sehingga pemantauan dapat dilakukan
dan tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan pada pasien.
"Jadi, jika ada yang menyebutkan bahwa kematian pasien
Covid adalah semata-mata akibat interaksi obat, maka pernyataan itu tidak
berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan," tutup Prof Zullies. [qnt]