“Kalau terjadi kegagalan, maka pejabat biasanya mencari alasan-alasan yang terjadi di tengah masyarakat,” kata Drajat melansir Kompas.com, Rabu (10/9/2025).
Ia menambahkan, sikap tersebut mencerminkan perilaku individualis, di mana pejabat cenderung membela tindakannya sendiri ketimbang menyadari posisinya sebagai wakil rakyat.
Baca Juga:
Menjelang Pemilu, Jepang Luncurkan Badan Pengelola Warga Negara Asing
Meski begitu, Drajat menegaskan bahwa kultur mundur sebenarnya juga ada di Indonesia.
Sejarah mencatat Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mengundurkan diri pada 2001 di tengah gejolak politik, sementara Presiden Soeharto lengser pada 1998 setelah desakan besar-besaran dari masyarakat.
“Artinya, sebenarnya kultur mundur itu ada di Indonesia, bahkan ada sejak zaman kerajaan, kayak Pangeran Benowo itu juga mundur dari kerajaannya,” ujarnya.
Baca Juga:
Unjuk Rasa Tuntut PM Sheikh Hasina Mundur Ricuh, 50 Orang Tewas
Namun keputusan pejabat untuk mundur bukan perkara mudah, karena pemerintah telah menggelontorkan dana besar untuk pemilu, sehingga mundurnya pejabat yang baru terpilih dianggap merugikan.
Sebaliknya, membiarkan pejabat bermasalah tetap berkuasa juga bukan langkah bijak.
Untuk itu, Drajat menilai pemerintah perlu memasukkan prasyarat khusus dalam pemilu, yakni fakta integritas yang mewajibkan pejabat siap mundur jika kehilangan kepercayaan rakyat.