WahanaNews.co | Tahun
1982 lalu, Irjen Departemen Luar Negeri Indonesia, Sarwo Edhie Wibowo, minta
Gubernur Jakarta saat itu, Soemarno Sosroatmodjo, untuk memuseumkan monumen
bernama resmi Patung Pahlawan di Jakarta.
Baca Juga:
Pesan Socrates tentang Kekayaan dan Kemewahan
"Patung itu patung Pak Tani Komunis. Mana ada petani
kita sikap angkuhnya begitu? Tidak ada! Di Indonesia mana ada petani yang
angkuh? Petani kita sopan-sopan."
Saat itu Edhie menilai patung tersebut sangat sarat paham
komunis, merujuk pada penggambaran sosok mirip petani yang dilengkapi dengan
senjata.
"Kalau patung Pak Tani BTI (Barisan Tani Indonesia)-
organisasi terafiliasi dengan PKI- apa harus kita pasang terus?" katanya
sebagaimana dikutip dalam laporan Majalah Tempo bertajuk Setelah 17 Tahun,
Debat Patung (1982).
Baca Juga:
Hari lahir Pancasila sebagai Dasar Filosofi bagi Bangsa Indonesia
Sejak saat itu, kian banyak orang yang mengaitkan patung
pemberian pemerintah Uni Soviet alias Rusia tersebut dengan PKI.
Menurut keterangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, patung
ini dibuat oleh dua pematung Rusia, Matvey Manizer dan Ossip Manizer.
"Saat datang ke Indonesia, The Manizers terpesona
dengan cerita perjuangan rakyat Indonesia tentang seorang ibu yang memberikan
bekal untuk anaknya yang akan berperang," tulis Pemprov DKI Jakarta.
Meski demikian, banyak orang mempertanyakan maksud sosok
lelaki di monumen itu yang memakai topi caping layaknya petani, tapi membawa
senjata. Menurut sebagian orang, semua itu tak menggambarkan petani Indonesia.
Ahli seni patung lulusan Fakultas Seni Rupa Institut
Teknologi Bandung, Asikin Hasan, mengatakan bahwa pembuatan patung atau karya
seni menggunakan penggambaran patung merupakan hal wajar di masa itu.
Pada masa kemerdekaan dan setelahnya, kata Asikin, rakyat
termasuk petani ikut berperan dalam melawan penjajah.
"Jadi [karya seni] itu adalah penghargaan kepada
mereka, dalam tanda kutip berjasa dalam merebut kemerdekaan. Ada partisipasi
mereka para petani. Gerilyawan-gerilyawan itu siapa yang menolong mereka kalau
bukan petani? Yang menanam padi, yang memberi beras, yang memberi makan, itu
mereka [petani]," kata Asikin.
Meski demikian, ideologi Sukarno yang kala itu beraliran
sosialis membuat beberapa pihak tetap beranggapan Patung Pahlawan itu merupakan
simbol PKI.
Ambil contoh ketika pada 2017, Forum Umat Islam Bersatu
(FUIB) menggagas Aksi 299 di Tugu Tani dan Gedung DPR, Jakarta. Penyelenggara
aksi ini sengaja memilih tugu tersebut sebagai sasaran aksi bertajuk Apel Akbar
Melawan Bangkitnya Komunisme di Indonesia.
"Karena Tugu Tani simbol komunisme yang masih ada di
Jakarta," ujar Koordinator FUIB, Rahmat Himran, saat itu.
Pematung sekaligus pengajar di Fakultas Seni Rupa Institut
Kesenian Jakarta, Dolorosa Sinaga, tak memungkiri bahwa patung ini memang
pemberian dari presiden Rusia.
Namun, gagasan nilai patung itu berasal dari Sukarno yang
ingin menggambarkan petani sebagai kekuatan bangsa. Bagi Sukarno, sosok petani
merepresentasikan nilai-nilai kerakyatan yang memiliki arti penting dalam
membangun karakter bangsa.
"Nilai kerakyatan itu disimbolkan dengan petani.
Membawa bedil kan bukan berarti dia tentara. Itu pertahanan diri. Metafora itu.
Nah, lalu ada perempuan di situ. Sukarno tentu melihat perempuan memiliki peran
penting dalam memberikan dukungan," kata Dolorosa.
Dolo melanjutkan bakul yang dibawa patung perempuan memiliki
arti sesuap nasi dari para perempuan untuk membantu pejuang.
Menurut Dolo, Patung Pahlawan sebenarnya sama dengan patung-patung
era Sukarno yang ada di Jakarta. Karya seni tersebut dibuat untuk dinikmati
banyak orang dan memiliki tujuan yang lebih luas.
"Jadi dia [Patung Tugu Tani] sumber keindahan, sumber
pengetahuan. Apapun itu, karya seni membawa percakapan yang sangat baik untuk
kemajuan," katanya.
"Semua orang punya interpretasi, tapi tidak ada satu
orang pun yang punya kewenangan untuk menghilangkan itu. Oleh karena itu dia
[karya seni] harus dilindungi negara, karena itu punya fungsi sosial yang
sangat bermanfaat untuk masyarakat."
Dolo menegaskan bahwa setiap orang dapat mengutarakan
pendapatnya terhadap suatu produk seni, tapi bukan berarti boleh menghilangkan
karya tersebut. Ia berharap pemerintah dapat menjalankan fungsinya untuk
melindungi karya seni di tempat publik.
"Karya seni punya hak untuk menjalankan fungsinya
sebagai, pertama sumber keindahan, kedua pengetahuan, dan tiga menjadi medium
di mana orang bisa melakukan interpretasi dialog," kata Dolo. [qnt]