WahanaNews.co | Front Pembela
Islam (FPI), organisasi yang dipimpin Rizieq Shihab, dilarang mengadakan
aktivitas mulai hari ini, Rabu (30/12/2020), karena dianggap
sudah tidak memiliki pegangan hukum.
Atas keputusan yang diumumkan Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, beberapa saat lalu, analis politik dari lembaga Indo
Strategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam, menyampaikan sejumlah catatan plus dan minus.
Baca Juga:
Habib Rizieq Shihab Singgung Nama Ahok dalam Istighosah Kubro PA 212
Menurut Arif, secara hukum, keputusan
tersebut bisa menuai polemik baru.
"Secara hukum, pembubaran organisasi mesti melalui jalur pengadilan, sehingga pembubaran ini bisa jadi memicu polemik di kalangan ahli
hukum dan pegiat demokrasi," kata Arif kepada wartawan, Rabu
(30/12/2020).
Polemik seperti yang diprediksi Arif
sudah mulai muncul usai Mahfud mengumumkan pelarangan aktivitas FPI.
Baca Juga:
Bahas Normalisasi, Anies: Pembubaran FPI dan HTI Telah Diputuskan dan Disepakati
Politikus Partai Gerindra, Fadli Zon, melalui media sosial, mengatakan, "Sebuah
pelarangan organisasi tanpa proses pengadilan adalah praktik otoritarianisme. Ini
pembunuhan terhadap demokrasi dan telah menyelewengkan konstitusi."
Tetapi, secara
politik, menurut pandangan Arif, FPI selama ini dilihat oleh pemerintah
merupakan organisasi yang kerap membuat kegaduhan publik dan disinyalir
memiliki agenda tersembunyi merubah haluan negara Pancasila.
Karena itu, langkah pemerintah dari
sudut pandang ini sebagai upaya menghalau laju gerak FPI yang menjadi ancaman
negara.
"Ini tentu ada plus-minusnya, namun yang perlu diingat pembubaran FPI tidak lantas
kemudian mematikan ideologi para pengikutnya. Bisa jadi pasca pembubaran FPI
para anggotanya akan melakukan gerakan Klandestin atau bawah tanah," kata
Arif.
Melarang Aktivitas
Mahfud menyatakan, pemerintah menghentikan kegiatan dan aktivitas Front Pembela
Islam (FPI) dalam bentuk apapun.
"Pemerintah melarang aktivitas
FPI, dan akan menghentikan setiap kegiatan yang akan dilakukan, karena FPI tak lagi mempunyai legal
standing, baik sebagai ormas maupun sebagai
organisasi biasa," kata dia, dalam jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta.
Ia mengatakan, sejak 20 Juni 2019, FPI secara de jure
telah bubar sebagai ormas, namun sebagai organisasi FPI tetap berkegiatan yang
melanggar ketertiban dan keamanan, dan bertentangan dengan hukum, di
antaranya tindak kekerasan, sweeping
secara sepihak, provokasi, dan lain-lain.
Mahfud menyebut, berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan
sesuai putusan MK tertanggal 23 Desember 2014, pemerintah melarang aktivitas
FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan FPI.
"Kalau ada sebuah organisasi
mengatasnamakan FPI, dianggap tidak ada dan harus ditolak, terhitung hari
ini," kata dia.
Hal itu, kata dia, juga tertuang dalam
keputusan bersama enam pejabat tertinggi di kementerian lembaga, yaitu Menteri Dalam
Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi
dan Informatika Jhonny G. Plate, Jaksa Agung Burhanuddin, Kepala Kepolisian
Indonesia Jenderal Idham Azis, dan Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Boy
Rafly Amar.
Dalam rapat itu, hadir pula Panglima
TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Laoly, Karnavian, Kepala Staf Presiden:
Moeldoko, Burhanuddin, Plate, Azis, hingga Kepala Badan Intelijen Negara Budi
Gunawan. [yhr]