Lebih lanjut, ia menyoroti penurunan produktivitas sawit dan meningkatnya konsumsi dalam negeri sebagai alasan utama mendesaknya pembentukan Badan Sawit Nasional.
"Saat ini produktivitas kita stagnan, bahkan cenderung menurun, sementara konsumsi terus meningkat. Tahun ini saja konsumsinya sudah naik," jelasnya.
Baca Juga:
Optimalkan BPDPKS, Petani Kelapa Sawit Raih Keuntungan dari Harga TBS
Data hingga Agustus 2024 menunjukkan produksi sawit turun 4,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dari 36.287 ribu ton menjadi 34.522 ribu ton.
Sementara itu, konsumsi dalam negeri meningkat 1,94 persen dari 15.274 ribu ton pada 2023 menjadi 15.571 ribu ton pada 2024.
Eddy juga menambahkan bahwa rencana penerapan biodiesel dengan bauran 40 persen (B40) pada 2025 dan B50 pada tahun berikutnya, serta perlambatan program peremajaan sawit rakyat, menjadi faktor lain yang memperkuat urgensi pembentukan Badan Sawit Nasional.
Baca Juga:
Peran Strategis BPDPKS: Pendorong Harga TBS dengan Program Berkelanjutan
Penurunan stok sawit hingga akhir Agustus 2024 menjadi 2.450 ribu ton dari 2.513 ribu ton pada akhir Juli juga menjadi perhatian.
Ia menyebutkan bahwa cita-cita pendirian Badan Sawit Nasional nantinya dapat menyerupai Lembaga Minyak Sawit Malaysia atau Malaysian Palm Oil Board (MPOB) yang memiliki wewenang penuh atas persoalan sawit dalam negeri dan juga berhak memberikan penalti jika diperlukan.
"Sehingga peraturan terkait kelapa sawit ke depan bisa lebih simple dan powerful," kata dia.