WahanaNews.co | Kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Senin (1/10/2022) menyebabkan jatuhnya korban setidaknya 130 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka.
Kericuhan dalam partai Arema vs Persebaya ini diawali serbuan suporter ke lapangan dan ditembaki gas air mata polisi.
Baca Juga:
Jelang Olimpiade Paris 2024, Erick Thohir Silaturahmi dengan Presiden FIFA
Menurut keterangan saksi mata, polisi bahkan menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton.
Dwi, salah satu saksi mata tragedi di Kanjuruhan, menyebut banyak orang yang terinjak-injak dalam kerusuhan yang dipicu tembakan gas air mata polisi ke tribun.
“Saya lihat ada banyak orang terinjak-injak, saat suporter berlarian akibat tembakan gas air mata," kata Dwi.
Baca Juga:
Pembangunan Asrama Pusat Latihan Timnas Indonesia di Penajam Paser Utara Hampir Rampung
Sebelum tragedi Kanjuruhan, tembakan gas air mata telah menyebabkan kerusuhan lain yang menewaskan ratusan orang.
Dua kerusuhan stadion dengan jumlah korban terbanyak, tragedi di Estadio Nacional, Lima, Peru, pada 24 Mei 1964 dan musibah di Accra Sprots Stadium, Ghana pada 9 Mei 2001 juga dipicu tembakan gas air mata polisi.
Tragedi Estadio Nacional adalah kerusuhan stadion dengan korban jiwa terbanyak sepanjang sejarah, yakni 328 korban jiwa. Sedangkan tragedi di Accra adalah kerusuhan stadion dengan korban jiwa terbanyak kedua (126) sebelum kerusuhan di Kanjuruhan terjadi.
Kerusuhan di Estadio Nacional terjadi ketika pertandingan Timnas Peru vs Argentina. Di tengah pertandingan, suporter tuan rumah murka dengan sebuah keputusan wasit dan menyerbu lapangan.
Polisi pun merespons dengan menembakkan gas air mata ke arah kerumunan. Tembakan gas membuat ribuan suporter panik dan berebut keluar.
“Kami berbalik dan mulai naik tangga, itulah ketika polisi mulai melemparkan gas air mata. Saat itu, orang-orang di tribun lari ke terowongan (keluar stadion) untuk menyelamatkan diri—di mana mereka bertemu kami, menyebabkan tabrakan yang besar sekali,” kata seorang saksi mata tragedi Nacional, Jose Salas dikutip BBC pada Mei 2014 silam.
Saat kejadian, terowongan menurun ke gerbang Estadio Nacional segera diserbu para suporter yang panik. Nahasnya, saat ada pertandingan berlangsung, gerbang keluar selalu ditutup.
Suporter terus berebut menyelamatkan diri ketika masih ada kerumunan suporter lain yang terjebak di gerbang dan terowongan. Gerbang itu kemudian terbuka akibat kuatnya dorongan manusia yang berdesakan.
Kericuhan suporter yang ingin menyelamatkan diri dari gas air mata polisi membuat 328 orang tewas.
Usai kejadian, komandan polisi yang memerintahkan tembakan gas air mata, Jorge Azambuja, dihukum penjara 30 bulan.
Tragedi Accra 2001 terjadi ketika pertandingan antara klub Accra Hearts of Oak Sporting Club vs Asante Kotoko di arena pertandingan di Ohene Djan Sports Stadium, Ghana. Sebagaimana disarikan Citi FM Online, kericuhan bermula ketika klub tuan rumah mencetak gol kemenangan pada menit akhir.
Suporter Asante Kotoko yang kecewa melemparkan kursi-kursi plastik dan botol ke lapangan. Polisi membalasnya dengan tembakan gas air mata.
Gas air mata polisi membuat ribuan suporter panik berebut keluar stadion. Saling injak terjadi dan menyebabkan 126 orang meninggal dunia.
Penyelidikan usai kejadian menyimpulkan bahwa polisi bersalah atas reaksi berlebihan terhadap kelakuan suporter. Enam personel polisi didawka dengan kasus pembunuhan, tetapi kemudian dibebaskan.
Komisi penyelidikan juga menyimpulkan berbagai faktor lain yang membuat tragedi ini terjadi, serta merilis rekomendasi peningkatan fasilitas keamanan dan medis di stadion.
Alasan Polisi Gunakan Gas Air Mata di Kanjuruhan
Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur Irjen Nico Afinta mengaku pihaknya sudah “sesuai prosedur” dalam pengamanan partai Arema vs Persebaya di Kanjuruhan.
Mengenai tembakan gas air mata, Nico mengaku polisi terpaksa menggunakannya karena suporter yang menyerbu lapangan.
"Seandainya suporter mematuhi aturan, peristiwa ini tidak akan terjadi. Semoga tidak terjadi lagi peristiwa semacam ini," kata Nico, Minggu (2/10) pagi.
Akan tetapi, pernyataan Kapolda Jawa Timur itu bertentangan dengan FIFA Stadium Safety and Security Regulation yang dirujuk PT LIB dalam
Pasal 19b regulasi FIFA menyatakan bahwa “gas pengontrol kerumunan” tidak boleh dipakai. [qnt]