WahanaNews.co | Sepanjang Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat terbentuk, ada sederet jenderal baret merah dengan pengalaman menjalankan misi berbahaya.
Diketahui, Kopassus ini merupakan pasukan yang memiliki kemampuan di atas rata rata. Tak heran, korps baret merah itu mencetak prajurit handal dalam bertempur.
Baca Juga:
Pengusaha Cilacap Motivasi 26 Siswa Seko Pusdiklatpassus Angkatan 108 Saat Pembaretan
Berikut sejumlah Jendral baret merah yang pernah menjalankan misi berbahaya:
1. Prabowo Subianto
Prabowo Subianto lulus Akademi Militer di Magelang 1974 sebagai letnan dua. Prabowo sudah ditugaskan menjadi Komandan Pleton Group I sebagai bagian dari operasi Tim Nanggala di Timor Leste (dulu Timor Timur) di usianya yang baru 26 tahun, dan menjadi komandan operasi termuda.
Prabowo dan pasukannya mendapat perintah untuk menangkap Nicolau dos Reis Lobato, Perdana Menteri pertama Timor Timur.
Baca Juga:
Brigjen TNI Djon Afriandi Resmi Jabat Danjen Kopassus Gantikan Mayjen TNI Deddy Suryadi
Dengan kecekatannya dalam melakukan pendekatan dengan keluarga Nicolao, Prabowo akhirnya bisa mendeteksi keberadaan Nicolau di wilayah Maubisse sekitar 50 km dari selatan Dili. Nicolau tewas ditembak di lembah Mindelo pada akhir Desember 1978.
Selain itu, Prabowo berhasil menangkap Letkol Xanana Gusmao. Karena keberhasilannya, ia dipercaya menjadi Wakil Komandan Detasemen 81 Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus pada 1983.
Prabowo pun mencapai puncak karier tertingginya di Kopassus dengan menjadi Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus).
Prabowo juga pernah memimpin operasi pembebasan Mapenduma. Di mana, ada 26 oerang peneliti dalam tim Ekspedisi Lorentz 95 disandera kelompok separatis.
Selama 130 hari, pasukan Kopassus dan Kostrad memburu Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua itu. Pada 9 Mei 1996, akhirnya berhasil menyelamatkan para sandera. Meski, ada dua sandera yang gugur di tangan keganasan kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM).
2. Doni Monardo
Doni Lahir di Cimahi, Jawa Barat, pada 10 Mei 1963. Dengan kemampuan yang dimiliki, Doni lulus Akademi Militer pada 1985 dan berpengalaman dalam bidang infanteri.
Doni pernah mendapat memimpin operasi penyalamatan sandera oleh perompak Somalia. Di mana, Kapal MV Sinar Kudus yang dioperasikan PT Samudera Indonesia dibajak di perairan Arab pada 16 Maret 2011.
Saat itu, kapal sedang berlayar dari Sulawesi menuju Rotterdam Belanda. TNI AD, Udara dan Laut bergabung dalam operasi penyelamatan kapal bermuatan ferro nikel itu.
Dibentuklah Satgas Merah Putih setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta agar dilakukan langkah penyelamatan. KRI Abdul Halim Perdanakusuma-355 dan KRI Yos Sudarso-353, Kapal LPD KRI Banjarmasin-592, dan satu helikopter diterjunkan dalam giat tersebut.
Pasukan yang terlibat dalam operasi tersebut yakni Kopassus, Kopaska dan Denjaka.
3. Benny Moerdani
Benny Moerdani pernah terlibat dalam operasi pembebasan pesawat komersial milik negara, Garuda Indonesia yang dibajak kelompok Komando Jihad. Kejadian itu dikenal dengan Peristiwa Woyla.
Ketika pembajakan terhadap 48 penumpang dan lima awak Pesawat Garuda GA206 terjadi, Benny Murdani yang sudah diperintahkan Presiden Suharto untuk melancarkan operasi pembebasan, menghubungi Asrama Kopassandha.
Sayangnya, beberapa perwira berpengalaman seperti A.M. Hendropriyono, Luhut Binsar Pandjaitan dan Prabowo Subianto sedang tidak ada di tempat.
Hendropriyono tengah mengikuti latihan gabungan ABRI di Maluku. Luhut dan Prabowo sedang menjalani pendidikan di Jerman Barat bersama GSG-9 (pasukan khusus Jerman).
Hanya ada Sintong Pandjaitan di asrama lantaran kakinya tengah cedera usai latihan Mobile Training Team (MTT) dari Pasukan Khusus Amerika Serikat di Cijantung, pada awal 1981. Sintong pun bersikeras untuk ikut dalam operasi meski kakinya masih di-gips.
Benny Moerdani sempat memberikan peluru khusus antiteror ke Sintong. Namun, Sintong menolak karena belum terbiasa.
“Jangan Pak, kami belum terbiasa,” tutur Sintong.
“Lho, ini peluru bagus, yang terbaru. Gunakan saja,” kata Benny Murdani.
Sintong pun menjajalnya. Alhasil, tak satu peluru pun meletus. Sintong bersyukur belum langsung berangkat dengan peluru itu.
Benny pun memerintahkan anak buahnya mengambil persediaan peluru lain ke Tebet. Sebagai catatan, peluru khusus antiteror memang tak akan menembus dinding kabin pesawat.
Operasi dimulai pada 31 Maret 1981 sekira pukul 10.43 dini hari. Pasukan menggeruduk para pembajak.
Dalam tempo kurang dari 10 menit, situasi bisa diamankan, kendati ada korban di pihak pasukan.
Usai operasi, Benny Murdani ikut naik ke pesawat, menggunakan mic di kokpit pesawat, untuk melaporkan langsung pada Kepala Bakin (sekarang BIN), Yoga Sugomo.
“Pak Yoga, ini Benny,” teriak Benny di mic kokpit.
“Neng endi kowe (di mana kamu?),” jawab Yugo.
“Di dalam pesawat, Pak”, timpal Benny lagi.
“Jangan main-main kamu..,” sahut Yugo.
“Saya memang di pesawat, sudah selesai semua, beres,” tuntas Benny.
Drama pembajakan empat hari tiga malam itu pun berakhir. Pasukan baret merah pun langsung mendapat pengakuan internasional dan disejajarkan dengan pasukan elit dunia seperti GSG 9 (Jerman dan Mossad (Israel).
4. AM Hendropriyono
Hendropriyono melakukan operasi di Kalimatan bersama timnya Sandi Yudha. Operasi itu untuk melumpuhkan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku).
Hendropriyono berusaha untuk melumpuhkan lawan tanpa kekerasan dengan Tim Sandi Yudha. Di mana Sandi Yudha merupakan satuan intelijen Kopassus.
Namun sayang, upayanya tak membuahkan hasil hingga akhirnya dilakukan tindakan kekerasan. Munculnya pasukan bersenjata itu bermula dari Presiden Soekarno sengaja membuntuk pasukan gerilya saat Indonesia dan Malaysia memanas pada 1963-1966.
Ketika Soeharto menduduki kursi presiden, pasukan yang dilatih TNI di Surabaya, Bandung dan Bogor justru malah menjadi musuh. Pasukan itu tak mau meletakkan senjata kendati Soeharto memutuskan untuk berdamai dengan Malaysia.
TNI pun dipimpin Hendropriyono diutus untuk menertibkan mereka. Di peristiwa lain, Hendropriyono juga dikenal sebagai sosok yang berhasil menumbangkan Kelompok Warsidi di Talangsari, Lampung pada 1989.
Hendropriyono juga pernah menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Bahkan, pria kelahiran Yogyakarta 7 Mei 1945 itu mendapat julukan The Master Of Intelligence. [rsy]